Sabtu, 29 Agustus 2009

Menjadi Satu-satunya

Kali ini, biarkan saya kenalkan orang-orang yang setiap hari mengisi hari-hari saya. Hehehe..ya, saya setiap hari bekerja dengan mereka. Semuanya laki-laki,bapak-bapak, ada dua puluh enam orang dalam satu gedung kerja kami.

Awalnya saya tak menyangka akan ditempatkan di bagian ini, bagian yang nggak ada perempuannya (untuk saat ini). Menurut cerita teman-teman, sebelumnya pernah ada yang menempati, tapi beberapa waktu ini kosong, karena perempuan-perempuan itu telah dirotasi ke bagian lain. Ah, memang bagian ini "cowok" banget! Hari pertama masuk, hmm...saya tebak dalam hati para lelaki itu mungkin muncul bermacam-macam pertanyaan. Suatu tantangan buat saya, dan tidak terlalu canggung juga masuk dalam kantor yang termasuk bangunan kolonial itu (yeah, saya sangat menyukainya, i love the old building!). Sebelumnya kebetulan saya telah pernah pula bekerja pada biro konsultan yang kalau berada dalam ruang studio, ..there's only me as a rose, he3...karena Bu Wik yang waktu itu jadi kadiv kan ruangnya terpisah, trus Mbak Ana juga ruangnya di depan
Semoga beliau-beliau teman-teman saya tak berkeberatan saya go publikkan disini.
begitu masuk ruangan dari arah pintu depan, sebenarnya meja kerja saya sudah langsung terlihat, pas di baris paling depan, di tengah-tengah. Di ruang kerja depan ini, saya bergabung dengan meja-meja bapak-bapak lainnya yang berjumlah lima belas orang. Tapi sayangnya saya jarang duduk anteng di meja ini, saya punya meja satu lagi,he3. Ruangnya berada di dalam, sebelah timur dekat pintu samping belakang. Saya biasa berkutat di sini, menghadapi layar, segunung dokumen, dan orang-orang mengesankan, yang telah membantu saya belajar lagi hal-hal yang baru. Ada Pak Supriyadi, orang sipil yang paling senior diantara kami berempat yang mengisi ruang itu. Beliau orangnya lugas, tegas, simpel, sederhana, pekerja keras juga. Pak Supri punya keluhan darah tinggi, jadi kalau sudah overload kerjaannya, hmm...pasti muncul keluhan-keluhan yang lucu. Trus ada Mas Totok, pak kepala lab yang groovijuga...many things i can learn from him i guess, even it's slowly =) Lalu paling timur ada mas Tanjung. Dia paling muda diantara bapak-bapak yang lain. He teach me lot of things till now. Bahkan konon 2 buku yang dipinjamkannya pada saya adalah salah dua kitab suci yang wajib dipelajari, ha3...Beruntung dari awal saya bergabung dengan mereka. Walaupun bidang ini sama sekali baru buanget buat saya, tapi sepertinya mereka tidak mempermasalahkan

Dari awal saya sudah membantu dalam proses lelang tahun ini. Tidak menyangka sebelumnya, prosesnya ternyata seperti ini panjangnya. Dulu memang saya memandangnya dari sudut stakeholder yang berbeda, sebagai peserta lelang. Tapi sekarang, saya membantu penyelenggaraannya. Ternyata banyak tahapan yang harus dilalui berjam-jam, bertindak titi teliti, berkoordinasi dengan banyak pihak, dan berpacu dengan waktu. Untuk hari-hari tanpa tidur siang, untuk hari-hari yang makan siang - makan malamnya dilewati bersama-sama di kantor, untuk matahari yang tak pernah menemani dalam perjalanan pulang dalam beberapa hari..saya sudah terbiasa menjalaninya.
Kami seringkali melakukan kegiatan di luar kantor berempat. Beberapa kali kesempatan kami pergi menjenguk teman. Kebetulan ada kemudahan transportasi pada kami berempat, jadi bisa kemana-mana bersamaan. Mungkin awalnya canggung juga mereka pikir, pergi dengan satu-satunya perempuan. Tapi saya kan adik paling kecil, mosok gak diajak =) ntar kalo nangis piye jal? he3, ah saya kan tidak sembarangan menumphkan air mata pada hal-hal yang nggak penting =) Suatu hari, mas Totok sakit, dan kami ber-25 nengokin dia bareng-bareng. Seperti biasa kami semobil bertiga (karena yang satu tergolek di rumah sakit dan akan kami jenguk). Saking lapernya, mas Tanjung minta makan siang dulu, dan kami pun tertinggal oleh rombongan yang lainnya. Ternyata kami bertiga masih ditunggu sama pak kabid dan pak kasi, padahal saya juga tahu mereka pun pasti merasakan lapar. Ah, ternyata kami sudah mengerjai orang-orang sekantor..duh, maafkan ya pak=)
Seminggu yang lalu saya jatuh sakit. Tanda-tandanya sudah terlihat oleh mas Totok siang hari sebelum saya pulang dan tidak masuk keesokan harinya. Waktu itu bertepatan dengan awal puasa 1430 H. Mas Tok bilang "wes, gak usah masuk sik.istirahat wae..." dan esok harinya pun saya akhirnya nggak kuat masuk, pusying dan batuknya gak berhenti-berhenti, puasa lagi...jadi tambah lemes deh. Saya pikir hari seninnya saya sudah bisa berjalan dengan tegak, ah ternyata belum bisa juga ngantor..dan merekapun melarang saya untuk segera masuk. Padahal saya sudah nggak betah tiduran terus di kamar. Mereka mengkhawatirkan saya, jangan-jangan kena DB, tipes, atau sakit parah lainnya....ah, padahal kan cuma batuk lanjut.
Kemarin, akhirnya saya diajak ke lapangan. Tidak untuk main bola lho, he3..tapi ikut melihat pekerjaan-pekerjaan kami pada beberapa ruas jalan yang sedang dilakukan penggelaran aspal. Saya pergi dengan mas Tanjung, sampai hampir maghrib baru pulang. My first experience. Saya ambil kesempatan ini, walaupun habis sakit, tapi kebetulan waktu penggelarannya sore, tidak tengah malam yang kadang masih membuat suatu alasan keberatan saya..menyenangkan bisa blusukan ke daerah-daerah terpencil kota ini.
Tidak begitu tahu apa yang dipesankan Pak Arif kepada teman-teman saya itu, tapi yang jelas sampai saat ini hubungan kerja dan personal kami jadi seperti kakak adik. Mereka menjaga saya sebagai adik perempuan satu-satunya di ruang yang sama. Mungkin keinginan saya untuk mempunyai kakak-kakak laki-laki dikabulkan Tuhan sekarang, walaupun mereka bukan saudara kandung saya, tapi yang pasti saya telah menemukan 'persaudaraan' baru dengan mereka. Dan menjadi satu-satunya perempuan diantara mereka, bukan berarti saya bisa bermanja-manja, tapi juga harus bisa menjaga kehormatan kami.

Sabtu, 08 Agustus 2009

the old city


kota adalah tempat pentas teater kehidupan dari waktu ke waktu, yang secara fisik dapat dinikmati dari simbol komunikasi bangunan-bangunannya

Saya cukup beruntung bisa tinggal di kota ini. Selain bisa menziarahi leluhur pendiri kota yang masih terjaga dengan baik - mungkin karena didukung oleh ketaatan masyarakat setempat yang sangat tinggi - saya juga masih bisa menikmati kekokohan artefak yang masih berdiri hingga sekarang. Kondisinya rata-rata terhitung masih baik, masih banyak yang difungsikan, kebanyakan berfungsi sebagai tempat tinggal. Sebagian dalam kondisi mangkrak mungkin wajar, karena dimana-mana di Indonesia, penanganan bangunan tua masih mengalami kendala yang cukup besar.

Bermula dari jaman sunan, waktu yang lampau sekali saat wali sembilan bergiat meng-Islam-kan tanah Jawa (pada awalnya, karena toh akhirnya beberapa murid wali sembilan pun berasal dari wilayah di luar Jawa), kota ini didirikan. Pemilihan nama kota yang secara harfiah berarti "kota suci", sepertinya bermaksud mengingatkan kepada saya untuk selalu berhati-hati dalam bertindak di kota ini...(tidak tau bagi yang lain tentang apa yang dikandung dari maksud nama kota ini).

Kota lama bercikal bakal dari keberadaan masjid sebagai pusat orientasi permukiman dan aktivitas keseharian. Permukiman kemudian berkembang di sekitar pusat pertumbuhan itu, dan lalu adanya kebutuhan pergerakan memunculkan jalur-jalur transportasi utama kota. Adanya waktu yang berjalan linier dalam proses pembentukan kota, turut mempengaruhi morfologinya di kemudian hari. Pengaruh tumbuhnya bisnis perdagangan, memunculkan konglomerat kota pada suatu masa yang berkembang pesat, divisualisasikan dalam bangunan-bangunan rumah tinggal yang kokoh dan sangat berfilosofis sebagai simbolisasi tingginya privasi tuan rumahnya. Rumah adat dengan hiasan ukir yang rumit dan tata ruang dalam yang mencerminkan sikap keseharian yang harus diterapkan oleh penghuninya. Ditambah lagi dengan kehadiran bangsa kolonial ke Indonesia, yang juga mempengaruhi langgam bangunan pada masa itu, semakin membuat orang berlomba menampilkan gengsi dan seleranya dalam bentuk arsitektur bangunan, yang saling berkomunikasi satu sama lain dengan lingkungannya. Pola jalan yang berbentuk grid dan dilalui oleh jalur pantura pula, menjadikan lalu lintas di kota ini cukup padat.
Jaman telah berganti. Modernisasi industri material yang cukup pesat, menjadikan wajah-wajah bangunan kota pun mulai bergeser tema. Dari yang semula tertutup, berdinding tebal, atap yang khas dengan hiasan seperti ekor burung dan penuh ukiran sebagai ciri arsitektur lokal setempat yang bernilai seni kriya yang tinggi, kemudian menjadi bertema bangunan-bangunan kolonial yang kokoh berbukaan besar dan berplafon tinggi, menjadi bangunan modern yang simpel dengan ciri material yang mudah dikenali karena kesamaan materialnya dengan yang terdapat di tempat lain di muka bumi. Jaman telah berganti, teman..

Sekarang, banyak bangunan tua baik yang didirikan pada masa kolonial maupun yang berlanggam etnik khas telah dibiarkan begitu saja. Dari segi perawatannya yang mungkin lebih susah dari bangunan masa kini yang cenderung praktis untuk dibersihkan, menjadikan pemiliknya sering mengeluh dalam hal perawatan. Sebagai langkah praktisnya, mungkin beberapa ada yang berganti wajah total sebagai bangunan baru, berlanggam kini pula, kontras dengan wajahnya terdahulu. Banyak diantaranya malah mungkin ditinggalkan (dikosongkan) begitu saja oleh penghuni ataupun pewarisnya.

Saya sebenarnya menyayangkan hal itu, dan iri kepada negara-negara di luar Indonesia yang masih bisa menjaga kekayaan kotanya dengan memelihara dan mempercantik artefak kota tuanya, baik itu berupa bangunan, kawasan terbuka, jalan/ruang publik, ataupun asesoris kota yang terkadang berdimensi kecil. Bukan bermaksud mengagung-agungkan masa lalu semata, tapi lebih kepada menjaga kesinambungan mata rantai pembentuk kota, yang di awal tulisan ini telah saya sampaikan. Biar cerita yang ingin disampaikan oleh pendahulu kita "nyambung" sama pergeseran wajah kota yang kelak dialami oleh penerus kita, biar mereka tidak menjadi generasi yang kehilangan mata rantai cerita kota-nya, dan biar mereka menghormati para pendahulunya, walaupun mereka tidak bertemu dengan para pendahulu itu secara personal (seperti juga halnya saya pun tidak bertemu dengan Daendels yang menciptakan Anyer-Panarukan dengan berbagai cerita yang berdarah-darah mengenaskan), karena kita dan anak-anak masa depan pun perlu mensarikan cerita dari warisan artefak yang ada.