Sabtu, 08 Agustus 2009

the old city


kota adalah tempat pentas teater kehidupan dari waktu ke waktu, yang secara fisik dapat dinikmati dari simbol komunikasi bangunan-bangunannya

Saya cukup beruntung bisa tinggal di kota ini. Selain bisa menziarahi leluhur pendiri kota yang masih terjaga dengan baik - mungkin karena didukung oleh ketaatan masyarakat setempat yang sangat tinggi - saya juga masih bisa menikmati kekokohan artefak yang masih berdiri hingga sekarang. Kondisinya rata-rata terhitung masih baik, masih banyak yang difungsikan, kebanyakan berfungsi sebagai tempat tinggal. Sebagian dalam kondisi mangkrak mungkin wajar, karena dimana-mana di Indonesia, penanganan bangunan tua masih mengalami kendala yang cukup besar.

Bermula dari jaman sunan, waktu yang lampau sekali saat wali sembilan bergiat meng-Islam-kan tanah Jawa (pada awalnya, karena toh akhirnya beberapa murid wali sembilan pun berasal dari wilayah di luar Jawa), kota ini didirikan. Pemilihan nama kota yang secara harfiah berarti "kota suci", sepertinya bermaksud mengingatkan kepada saya untuk selalu berhati-hati dalam bertindak di kota ini...(tidak tau bagi yang lain tentang apa yang dikandung dari maksud nama kota ini).

Kota lama bercikal bakal dari keberadaan masjid sebagai pusat orientasi permukiman dan aktivitas keseharian. Permukiman kemudian berkembang di sekitar pusat pertumbuhan itu, dan lalu adanya kebutuhan pergerakan memunculkan jalur-jalur transportasi utama kota. Adanya waktu yang berjalan linier dalam proses pembentukan kota, turut mempengaruhi morfologinya di kemudian hari. Pengaruh tumbuhnya bisnis perdagangan, memunculkan konglomerat kota pada suatu masa yang berkembang pesat, divisualisasikan dalam bangunan-bangunan rumah tinggal yang kokoh dan sangat berfilosofis sebagai simbolisasi tingginya privasi tuan rumahnya. Rumah adat dengan hiasan ukir yang rumit dan tata ruang dalam yang mencerminkan sikap keseharian yang harus diterapkan oleh penghuninya. Ditambah lagi dengan kehadiran bangsa kolonial ke Indonesia, yang juga mempengaruhi langgam bangunan pada masa itu, semakin membuat orang berlomba menampilkan gengsi dan seleranya dalam bentuk arsitektur bangunan, yang saling berkomunikasi satu sama lain dengan lingkungannya. Pola jalan yang berbentuk grid dan dilalui oleh jalur pantura pula, menjadikan lalu lintas di kota ini cukup padat.
Jaman telah berganti. Modernisasi industri material yang cukup pesat, menjadikan wajah-wajah bangunan kota pun mulai bergeser tema. Dari yang semula tertutup, berdinding tebal, atap yang khas dengan hiasan seperti ekor burung dan penuh ukiran sebagai ciri arsitektur lokal setempat yang bernilai seni kriya yang tinggi, kemudian menjadi bertema bangunan-bangunan kolonial yang kokoh berbukaan besar dan berplafon tinggi, menjadi bangunan modern yang simpel dengan ciri material yang mudah dikenali karena kesamaan materialnya dengan yang terdapat di tempat lain di muka bumi. Jaman telah berganti, teman..

Sekarang, banyak bangunan tua baik yang didirikan pada masa kolonial maupun yang berlanggam etnik khas telah dibiarkan begitu saja. Dari segi perawatannya yang mungkin lebih susah dari bangunan masa kini yang cenderung praktis untuk dibersihkan, menjadikan pemiliknya sering mengeluh dalam hal perawatan. Sebagai langkah praktisnya, mungkin beberapa ada yang berganti wajah total sebagai bangunan baru, berlanggam kini pula, kontras dengan wajahnya terdahulu. Banyak diantaranya malah mungkin ditinggalkan (dikosongkan) begitu saja oleh penghuni ataupun pewarisnya.

Saya sebenarnya menyayangkan hal itu, dan iri kepada negara-negara di luar Indonesia yang masih bisa menjaga kekayaan kotanya dengan memelihara dan mempercantik artefak kota tuanya, baik itu berupa bangunan, kawasan terbuka, jalan/ruang publik, ataupun asesoris kota yang terkadang berdimensi kecil. Bukan bermaksud mengagung-agungkan masa lalu semata, tapi lebih kepada menjaga kesinambungan mata rantai pembentuk kota, yang di awal tulisan ini telah saya sampaikan. Biar cerita yang ingin disampaikan oleh pendahulu kita "nyambung" sama pergeseran wajah kota yang kelak dialami oleh penerus kita, biar mereka tidak menjadi generasi yang kehilangan mata rantai cerita kota-nya, dan biar mereka menghormati para pendahulunya, walaupun mereka tidak bertemu dengan para pendahulu itu secara personal (seperti juga halnya saya pun tidak bertemu dengan Daendels yang menciptakan Anyer-Panarukan dengan berbagai cerita yang berdarah-darah mengenaskan), karena kita dan anak-anak masa depan pun perlu mensarikan cerita dari warisan artefak yang ada.



2 komentar:

  1. mm...sebagai penduduk pribumi kota kudus aku ga begitu mengamati segala sesuatunya sampai sedetail ini...heheheh..lumayan buat masukan...semoga para penggede denger deh...

    BalasHapus
  2. hehehe...semoga saja.terima kasih sudah membaca=)

    BalasHapus