Kamis, 17 September 2009

My Lovely Mom and Dad

Mungkin memang benar pepatah yang mengatakan bahwa sesuatu akan tampak lebih indah jika dilihat dari kejauhan, seperti gunung yang terasa lebih agung jika dilihat dari dataran...

Saya menulis ini, bukan semata saya ingin memamerkan mereka, tapi inilah catatan saya akan kebaikan-kebaikan mereka yang sampai saat ini pun saya belum bisa membalasnya dengan baik. Kala jauh dari rumah seperti inilah, ternyata rasa sayang saya terhadap mereka mungkin lebih besar dibanding ketika saya berada dekat di dekapan mereka.

Saya anak satu-satunya di keluarga saya. Tidak benar jika anak tunggal selalu diidentikkan dengan manja, semua-muanya harus dituruti, cengeng, dan selalu enak hidupnya. Kebetulan keluarga kami juga sangat sederhana, jadi saya jauh dari perlakuan-perlakuan itu.


Ibu saya anak ke lima dari tujuh bersaudara. Berasal dari Kebumen, ketika mudanya kebetulan bekerja di kota asal saya hingga bertemu dengan Bapak dan melahirkan saya. Satu hal besar yang saya sangat kagum dengan Ibu adalah kesabarannya yang luar biasa. Saya masih terus belajar bersabar seperti Ibu. Seperti apapun sikap orang terhadapnya, beliau masih bisa mengendalikan emosinya. Bukan berarti bersedia untuk diinjak, tapi Ibu berkeyakinan penuh bahwa nantinya Tuhan pasti membalaskan apa yang dilakukan orang itu terhadap kita. Kalau orang itu melakukan kebaikan kepada kita, pasti dia akan dibalas Tuhan dengan kebaikan pula. Namun sebaliknya, jika orang lain berbuat keburukan kepada kita, niscaya Tuhan juga akan menurunkan kesulitan kepadanya. Karena semua sebab dan akibat adalah bersumber dari perbuatan kita sendiri...


Bapak adalah anak tertua di keluarganya. Dari keluarga besar juga, enam bersaudara. Tapi yang hidup tinggal tiga orang. Beliau tipikal pekerja keras, "dari sejak remaja " kata eyang saya. Ruang kerjanya banyak dihabiskan di lapangan, makanya beliau berkulit hitam legam. Disiplinnya bagus sekali, tapi terkadang sikapnya kaku. Pencatatannya rapi. Saya pun masih kesulitan meniru kebiasaannya itu. Pandangannya banyak dipengaruhi oleh cerita wayang, sehingga jika mengambilkan contoh kebijakan-kebijakan, beliau sering mensarikan dari cerita wayang. Beberapa juga beliau koleksi di rumah. Beliau bergurau suatu saat kalau sudah capek bekerja ingin jadi dalang saja...Ah, Bapak..


Beliau, Bapak dan Ibu saya ternyata merestui kepergian saya jauh dari rumah. Saya yakin, itu bukan berarti beliau tidak menyayangi saya dan saya tidak menyayangi mereka, tapi justru karena mereka sangat sayang terhadap saya. Mungkin hal itu tak terkatakan. Saya mulai keluar rumah dan jauh dengan mereka ketika saya meneruskan pendidikan ke Semarang. Sangat sulit sekali awalnya meyakinkan mereka untuk mengizinkan saya merantau, hingga akhirnya dibolehkan juga. Pun ketika saya telah bekerja sekarang, yang juga kebetulan juga di luar kota, restu mereka sangat tidak saya duga.


Banyak orang mungkin berpikiran, anak satu-satunya kok tega meninggalkan orang tua. Tapi, saya yakin bahwa inipun berkat doa mereka juga. Kalau saya tidak mengambil kesempatan bekerja di luar kota seperti ini, justru sama dengan mematahkan doa-doa mereka selama ini. Memang secara fisik kami jarang bertemu, tapi semoga doa-doa sayang kami selalu disatukan Tuhan untuk kami sekeluarga.


Kebiasaan Bapak yang masih dilakukan hingga saya seumur ini adalah ketika mengecek kamar saya ketika saya telah tertidur. Beliau selalu memastikan jendela kamar telah terkunci dengan baik. Terkadang jika selimut masih utuh pada lipatannya, beliau tutupkan ke badan saya yang telah tidur melingkar. Ibu selalu merindukan saya dengan kesabarannya, dan ketika saya pulang, kami saling menumpahkan cerita. Bagi saya, menemaninya belanja pagi-pagi untuk kami makan bersama akhir-akhir ini sudah menjadi sesuatu yang istimewa. Ibu pun senang sekali ketika saya pulang dan bersedia bangun pagi untuk menemaninya belanja.


Tenang saja Ibu, saya menemukan orang-orang baik di sini. Seperti kebaikanmu. Dan dari Bapak, kini saya sangat mengetahui betapa pekerja-pekerja lapangan yang sering saya jumpai berkaitan dengan pekerjaan saya merupakan orang-orang hebat yang membuat saya lebih menyayangi Bapak.



You Know It Actually....

Hari ini, hari terakhir kami masuk kerja sebelum libur lebaran tahun 2009. Teman-teman malah heran, ketika pagi-pagi saya muncul di kantor banyak yang berkata "Loh, kok belum mudik?" yaaah, pak..kan liburnya besok, masa saya pulangnya hari ini. Saya nggak berani mangkir lah pak, hehehe...
Tidak banyak yang kami lakukan secara serius hari itu. Yang lumayan banyak adalah saya dan mas Totok menyempatkan diri menyisipkan jadwal-jadwal yang kemarin tertinggal itu. Kantor mulai sepi sekitar jam 10-an. Bapak-bapak itu mungkin juga punyai janji dengan keluarganya masing-masing, untuk sekadar berbagi suka cita dengan keluarga, menemani anak istrinya berbelanja, atau bersiap-siap mudik ke kampung halamannya.
Saya masih belum beranjak pulang ketika Pak Hasyim sudah berkali-kali menyarankan kepada saya untuk pulang saja. Hehehe...beliau khawatir kalau-kalau saya sampai rumah kemalaman. Padahal jadwal kepulangan saya kan baru besok subuh.
Teman-teman seruangan pulang sama-sama kali ini. Sedikit banyak mungkin karena saya =) Hanya mas Totok yang pulang awal, karena dia akan ke Semarang. Bertiga, saya, mas Tanjung dan pak Supri hanya saling bercerita hal-hal diluar kerjaan. Awalnya saya mengeluh tentang ketidakprofesionalan teman dari bagian lain yang sepertinya mencampuradukkan masalah pribadi dan pekerjaan. Hingga pada suatu bagian cerita, mas Tanjung ternyata mengetahui sesuatu yang selama ini belum saya ceritakan padanya. Aaah..kakak satu ini tauuuu aja!
Saya malah lega mendengarnya. Terlebih kesediaan mereka menjadi benteng saya. Hampir menangis saya siang itu...

Sabtu, 05 September 2009

Saya Rindu dengan Orang Ini

Mbak Pikat, seseorang yang dikenalkan oleh mas Lilik kepada saya, waktu itu sekitar tahun 2003-2004 di Solo. Semua serba kebetulan ketika itu, dan prosesnya berantai-rantai. Bermula dari tukar pikir saya dengan mbak Utami mengenai Tugas Akhir-nya, saya jadi tertarik untuk juga menulis tentang Solo. Mbak Ut kemudian menyarankan pada saya untuk bertemu dengan mas Lilik, teman diskusinya dari universitas negeri di Bandung, yang kebetulan juga concern dengan pelestarian kota. Kala itu sepertinya sedang libur semester dan mas Lik juga sedang KP di Solo. Akhirnya saya pun berangkat menemui mas Lik, sendirian, berbekal nomor kontak dan petunjuk-petunjuk dari mbak Ut.

Saya tidak punya siapa-siapa di Solo. Salah satu teman yang harus saya hubungi adalah Hans. Maka saya pun menghubungi Hans sebagai tempat transit pertama.hehehe...dan akhirnya saya tiba di Solo, dijemput Hans, lalu ketemu deh sama mas Lilik.

Saya ingat betul, waktu itu hari Jumat, di halaman depan UNS. Kami ngobrol buanyak tentang kota dan sebagainya. "Orang ini hebat!", pikir saya. Kata-katanya mengalir lancar, mungkin seencer otaknya. Lalu kami pun mengerucut pada salah satu objek landmark-nya Solo, Keraton Kasunanan. Kamipun bergerak kesana, dengan bis kota dan cerita-cerita yang terus mengalir. Untuk pertama kali saya mengunjungi obyek itu, secara sengaja. Lalu, mas Lik pun merekomendasikan orang lain sebagai narasumber. Menjelang sore, kami bergerak ke arah utara kota..ke kompleks Baturan Indah kalau tidak salah. Mas Lik mengajak saya bertemu dengan saudaranya yang juga penggiat kota, khususnya yang menangani aksesibilitas. Saya senang sekali. Akhirnya kami sampai di rumah mbak Pikat.

Kami berkenalan. Mas Lik ternyata keponakannya mbak Pikat. Sungguh sangat luar biasa kesan saya ketika pertama kali bertemu ibu hebat satu ini. Mbak Pikat secara fisik mungkin kurang beruntung. Kakinya terkena polio sejak kecil, pergerakannya harus dibantu dengan tongkat atau kursi roda. Waktu itu, beliau sedang hamil anak pertama. Saya menemui satu lagi orang hebat disini. Kata-katanya sangat cerdas,orisinil, tapi juga membumi. Aktivitasnya di LSM dan prestasinya membuat saya merasa keciiiill dan nggak ada apa-apanya. Beliau memperjuangkan hak-hak teman-teman difabel dalam hal memperoleh aksesibilitas yang nyaman dan layak. Dan itu berhasil. Beberapa pekerjaan ditanganinya kala itu, tentu saja dengan dibantu oleh beberapa staf yang berkantor di sebelah rumahnya. Kami bertiga ngobrol panjang mengenai kota, aksesibilitas, Solo, dan rencana mengambil Kasunanan sebagai objek penelitian saya. Tapi, mbak Pikat malah menyarankan saya untuk mengambil objek Mangkunegaran saja. Dengan beberapa pertimbangan yang lebih bisa dikompromikan dengan waktu, kapasitas, narasumber, dan lingkup wilayah. Saya hanya tercengang-cengang mengiyakan saran orang ini. Dengan tanpa persiapan materi sebelumnya, saya nggak nyangka akan bertemu dengan orang sehebat ini.

Beberapa waktu kemudian, saya datang kembali ke Solo. Rindu berdiskusi dengan beliau. Lebih tepat berguru sebenarnya. Saya pergi menemui mbak Pikat sendiri, sudah berani tanpa ditemani mas Lilik lagi. Si kecil waktu itu sudah lahir. Waktu itu gerimis, dan kantor mbak Pikat sudah tidak di sebelah rumah lagi, tapi menjauh berjarak beberapa blok dari rumahnya. Saya diminta menunggu sebentar di teras rumahnya. Kebetulan waktu itu rumahnya kosong. Beberapa menit saya menunggu, tiba-tiba dari arah utara mbak Pikat datang, hujan-hujanan diatas kursi rodanya, sendirian tak berpayung. Tuhan, kekuatan apa yang membuat dia begitu mandiri dan hebat seperti ini? Saya berlari menjemputnya. Dia pun tersenyum pada saya, saya hanya menyalahkan, kenapa tidak pake payung atau mantel? Dia bilang, ah cuma jalan sebentar saja. Padahal sepertinya kantornya agak jauh dari rumah... Sesampainya di rumah, beliau menceritakan kesibukannya. Habis keliling cari dana ke negara tetangga. Nama negaranya saya lupa. "Sama siapa mbak?", tanya saya. Dijawab,"sendirian"..What?

Lalu kami pun akhirnya bercerita, tentang pilihanku dalam Tugas Akhir ini. Beliau semangat sekali dan bersedia untuk membantu. Kata-katanya berapi-api, menyemangatiku. Dalam diri sebenarnya terasa lemes..lemes banget! Haduh mbak, dalam keterbatasannya ternyata mbak Pikat mampu membuat saya semakin keciiiilll...Saya iri dengan keluasan cara pikirnya. Saya iri dengan jangkauan pengetahuannya. Saya iri dengan positive thinking-nya yang mungkin jarang dipunyai oleh orang-orang bukan penyandang polio seperti kita.

Rencana tinggal rencana. Saya akhirnya tidak bisa meneruskan survey di Mangkunegaran, dan harus segera banting stir ke Banyumas. Dan saya belum sempat menjumpai lagi mbak Pikat hingga saat ini. Semoga sehat-sehat saja ya mbak. Kalau saya ada jadwal ke Solo, insyaAlloh tak singgah sebentar ke rumah, melepaskan rindu akan semangat dan cara pandang mbak yang menginspirasi..