Jumat, 02 Oktober 2009

Waduh, Miiii......



Rabu kemarin, saya ikut survey pengukuran pertama dalam kesempatan saya bekerja di kantor ini. Lokasinya nggak main-main, di wilayah hampir mendekati titik paling tinggi kota ini. Memang ini salah satu kesempatan saya menyusuri wilayah-wilayah baru yang belum pernah saya lihat sebelumnya. And I love it...




Dari kantor berangkat jam setengah sembilan. Kami bertujuh, saya, Mas Totok, Pak Parjo, Pak Harso, Pak Santoso, Pak Mul, dan Pak Rohman. Pake kendaraan dinas kijang merah itu. Kesempatan pertama, tentu saja saya dapat kursi di sebelah Pak Parjo =). Teman-teman yang lain menikmati sepoi-sepoi angin yang mengantar sepanjang perjalanan kami, di bagian belakang. Saya menemui kawasan-kawasan yang unik. Ada kota sukun yang seperti kota mandiri yang menyenangkan, rindang dan semua kebutuhan sepertinya tersedia. Selanjutnya terus naik ke utara, melalui jalan-jalan sempit yang hanya pas dilalui kendaraan roda empat berpapasan. Semakin naik, saya mulai mendapati vegetasi yang berbeda. Bukan pinus, tapi pohon kapuk randu, jagung, nangka...Akhirnya kami sampai di balai desa setempat, desa paling utara di kabupaten kami. Keheranan saya adalah hawanya yang tidak seperti hawa pegunungan. Dari sebelum berangkat, saya sudah membayangkan akan merasakan sedikit penurunan suhu dari kondisi di bawah (baca : kota), tapi ternyata sama saja, sama panasnya!


Vegetasi penutupnya buanyak sekali yang gundul, sehingga tanah pegunungan itu tampak merah dari kejauhan. Kondisi tanah juga tampaknya labil, tertangkap dari beberapa berita longsor yang menimpa wilayah ini. Sewaktu saya meraba dinding jalan yang merupakan tepi bukit yang dikepras sehingga terlihat bagian batu-batu penyusunnya, terasa rapuh, jatuh beberapa bongkah kebawah. Wah, bahaya nih kalau batu gunungnya tiba-tiba menggelinding..atau menggelundung...Jalan aspalnya banyak sekali yang rusak, dan inilah yang menjadi tugas kami siang ini, berkonsentrasi dengan jalan dan perkerasannya yang disana-sini sudah mengelupas dengan sempurna.


Hanya ada beberapa dusun/dukuh sepertinya di atas sana. Beberapa meter lagi sudah merupakan wilayah tetangga yang berada di balik pegunungan yang kami daki. Kelompok permukimannya mengikuti alur topografi, berkelompok di beberapa dataran, atau berlarik di sepanjang jalan utama. Pada wilayah yang bukan termasuk pusat dusun/dukuh, jarak antar rumah penduduknya cukup jauh, dan mereka biasa mendaki atau menurun berjalan kaki untuk menuju ladang, mengangkut hasil bumi yang secara kilometrik dan volumetrik cukup besar, hanya di punggung-punggung mereka yang sekuat baja!



Dan inilah sebenarnya keasyikan kami mengukur langkah dan arah di permukaan bumi siang itu. Jalannya menanjak, meliuk-liuk kekanan kekiri. Tidak ada pohon cemara ataupun strawbery di kanan kirinya, randhuuuuu dan jagung sepanjang jalan, jurang di kanan, ketinggian di kiri, wuiiiiii....Mas Totok bertugas mencatat potongan memanjang; Pak Mul dan Pak Harso yang menggambar lintang; Pak Rohman dan Pak Santoso memagang bermeter-meter pita ukur yang kami bawa, Pak Parjo mengukur potongan lintang dan saya ,hmmm...berjalan paling belakang mengawasi anak buah..hehehe, dan mendokumentasikan semua yang kami temukan di jalan. Menyenangkan sepanjang jalan...


Hanya 3,5km ternyata, saya pikir hingga 7 km kami akan berjalan. Itupun sudah menjadikan teman-teman saya sekantor kalang-kabut ketika kami kembali lagi ke kantor. "Waduh Miiiiiiiiiii.....kowe ki gek di-eman-eman malah iki di-item2-ke ngantek koyo ngono" kata Pak Pri dengan sepenuh hati. He3...dan mas Arif menimpali, "Lha wong udah di-eman-eman kon neng kene wae kok mas, malah dekne ra gelem ki..". Lagi, pas apel, sepatu saya masih berdebu sekali dan semua mata memandang dan berkomentar "Kuwi sepatu opo opo?" Whahahaha.....Pak Jas, di akhir apel pun komentar seakan nggak percaya "Mbak, awakmu melu neng S*****o? Ngantek gosong kayak ngono?" . Dan mungkin masih banyak lagi komentar yang ada di bibir teman-teman yang tak sempat saya rekam dalam ingatan saya..


Finally, i've made it bros!












































Kamis, 17 September 2009

My Lovely Mom and Dad

Mungkin memang benar pepatah yang mengatakan bahwa sesuatu akan tampak lebih indah jika dilihat dari kejauhan, seperti gunung yang terasa lebih agung jika dilihat dari dataran...

Saya menulis ini, bukan semata saya ingin memamerkan mereka, tapi inilah catatan saya akan kebaikan-kebaikan mereka yang sampai saat ini pun saya belum bisa membalasnya dengan baik. Kala jauh dari rumah seperti inilah, ternyata rasa sayang saya terhadap mereka mungkin lebih besar dibanding ketika saya berada dekat di dekapan mereka.

Saya anak satu-satunya di keluarga saya. Tidak benar jika anak tunggal selalu diidentikkan dengan manja, semua-muanya harus dituruti, cengeng, dan selalu enak hidupnya. Kebetulan keluarga kami juga sangat sederhana, jadi saya jauh dari perlakuan-perlakuan itu.


Ibu saya anak ke lima dari tujuh bersaudara. Berasal dari Kebumen, ketika mudanya kebetulan bekerja di kota asal saya hingga bertemu dengan Bapak dan melahirkan saya. Satu hal besar yang saya sangat kagum dengan Ibu adalah kesabarannya yang luar biasa. Saya masih terus belajar bersabar seperti Ibu. Seperti apapun sikap orang terhadapnya, beliau masih bisa mengendalikan emosinya. Bukan berarti bersedia untuk diinjak, tapi Ibu berkeyakinan penuh bahwa nantinya Tuhan pasti membalaskan apa yang dilakukan orang itu terhadap kita. Kalau orang itu melakukan kebaikan kepada kita, pasti dia akan dibalas Tuhan dengan kebaikan pula. Namun sebaliknya, jika orang lain berbuat keburukan kepada kita, niscaya Tuhan juga akan menurunkan kesulitan kepadanya. Karena semua sebab dan akibat adalah bersumber dari perbuatan kita sendiri...


Bapak adalah anak tertua di keluarganya. Dari keluarga besar juga, enam bersaudara. Tapi yang hidup tinggal tiga orang. Beliau tipikal pekerja keras, "dari sejak remaja " kata eyang saya. Ruang kerjanya banyak dihabiskan di lapangan, makanya beliau berkulit hitam legam. Disiplinnya bagus sekali, tapi terkadang sikapnya kaku. Pencatatannya rapi. Saya pun masih kesulitan meniru kebiasaannya itu. Pandangannya banyak dipengaruhi oleh cerita wayang, sehingga jika mengambilkan contoh kebijakan-kebijakan, beliau sering mensarikan dari cerita wayang. Beberapa juga beliau koleksi di rumah. Beliau bergurau suatu saat kalau sudah capek bekerja ingin jadi dalang saja...Ah, Bapak..


Beliau, Bapak dan Ibu saya ternyata merestui kepergian saya jauh dari rumah. Saya yakin, itu bukan berarti beliau tidak menyayangi saya dan saya tidak menyayangi mereka, tapi justru karena mereka sangat sayang terhadap saya. Mungkin hal itu tak terkatakan. Saya mulai keluar rumah dan jauh dengan mereka ketika saya meneruskan pendidikan ke Semarang. Sangat sulit sekali awalnya meyakinkan mereka untuk mengizinkan saya merantau, hingga akhirnya dibolehkan juga. Pun ketika saya telah bekerja sekarang, yang juga kebetulan juga di luar kota, restu mereka sangat tidak saya duga.


Banyak orang mungkin berpikiran, anak satu-satunya kok tega meninggalkan orang tua. Tapi, saya yakin bahwa inipun berkat doa mereka juga. Kalau saya tidak mengambil kesempatan bekerja di luar kota seperti ini, justru sama dengan mematahkan doa-doa mereka selama ini. Memang secara fisik kami jarang bertemu, tapi semoga doa-doa sayang kami selalu disatukan Tuhan untuk kami sekeluarga.


Kebiasaan Bapak yang masih dilakukan hingga saya seumur ini adalah ketika mengecek kamar saya ketika saya telah tertidur. Beliau selalu memastikan jendela kamar telah terkunci dengan baik. Terkadang jika selimut masih utuh pada lipatannya, beliau tutupkan ke badan saya yang telah tidur melingkar. Ibu selalu merindukan saya dengan kesabarannya, dan ketika saya pulang, kami saling menumpahkan cerita. Bagi saya, menemaninya belanja pagi-pagi untuk kami makan bersama akhir-akhir ini sudah menjadi sesuatu yang istimewa. Ibu pun senang sekali ketika saya pulang dan bersedia bangun pagi untuk menemaninya belanja.


Tenang saja Ibu, saya menemukan orang-orang baik di sini. Seperti kebaikanmu. Dan dari Bapak, kini saya sangat mengetahui betapa pekerja-pekerja lapangan yang sering saya jumpai berkaitan dengan pekerjaan saya merupakan orang-orang hebat yang membuat saya lebih menyayangi Bapak.



You Know It Actually....

Hari ini, hari terakhir kami masuk kerja sebelum libur lebaran tahun 2009. Teman-teman malah heran, ketika pagi-pagi saya muncul di kantor banyak yang berkata "Loh, kok belum mudik?" yaaah, pak..kan liburnya besok, masa saya pulangnya hari ini. Saya nggak berani mangkir lah pak, hehehe...
Tidak banyak yang kami lakukan secara serius hari itu. Yang lumayan banyak adalah saya dan mas Totok menyempatkan diri menyisipkan jadwal-jadwal yang kemarin tertinggal itu. Kantor mulai sepi sekitar jam 10-an. Bapak-bapak itu mungkin juga punyai janji dengan keluarganya masing-masing, untuk sekadar berbagi suka cita dengan keluarga, menemani anak istrinya berbelanja, atau bersiap-siap mudik ke kampung halamannya.
Saya masih belum beranjak pulang ketika Pak Hasyim sudah berkali-kali menyarankan kepada saya untuk pulang saja. Hehehe...beliau khawatir kalau-kalau saya sampai rumah kemalaman. Padahal jadwal kepulangan saya kan baru besok subuh.
Teman-teman seruangan pulang sama-sama kali ini. Sedikit banyak mungkin karena saya =) Hanya mas Totok yang pulang awal, karena dia akan ke Semarang. Bertiga, saya, mas Tanjung dan pak Supri hanya saling bercerita hal-hal diluar kerjaan. Awalnya saya mengeluh tentang ketidakprofesionalan teman dari bagian lain yang sepertinya mencampuradukkan masalah pribadi dan pekerjaan. Hingga pada suatu bagian cerita, mas Tanjung ternyata mengetahui sesuatu yang selama ini belum saya ceritakan padanya. Aaah..kakak satu ini tauuuu aja!
Saya malah lega mendengarnya. Terlebih kesediaan mereka menjadi benteng saya. Hampir menangis saya siang itu...

Sabtu, 05 September 2009

Saya Rindu dengan Orang Ini

Mbak Pikat, seseorang yang dikenalkan oleh mas Lilik kepada saya, waktu itu sekitar tahun 2003-2004 di Solo. Semua serba kebetulan ketika itu, dan prosesnya berantai-rantai. Bermula dari tukar pikir saya dengan mbak Utami mengenai Tugas Akhir-nya, saya jadi tertarik untuk juga menulis tentang Solo. Mbak Ut kemudian menyarankan pada saya untuk bertemu dengan mas Lilik, teman diskusinya dari universitas negeri di Bandung, yang kebetulan juga concern dengan pelestarian kota. Kala itu sepertinya sedang libur semester dan mas Lik juga sedang KP di Solo. Akhirnya saya pun berangkat menemui mas Lik, sendirian, berbekal nomor kontak dan petunjuk-petunjuk dari mbak Ut.

Saya tidak punya siapa-siapa di Solo. Salah satu teman yang harus saya hubungi adalah Hans. Maka saya pun menghubungi Hans sebagai tempat transit pertama.hehehe...dan akhirnya saya tiba di Solo, dijemput Hans, lalu ketemu deh sama mas Lilik.

Saya ingat betul, waktu itu hari Jumat, di halaman depan UNS. Kami ngobrol buanyak tentang kota dan sebagainya. "Orang ini hebat!", pikir saya. Kata-katanya mengalir lancar, mungkin seencer otaknya. Lalu kami pun mengerucut pada salah satu objek landmark-nya Solo, Keraton Kasunanan. Kamipun bergerak kesana, dengan bis kota dan cerita-cerita yang terus mengalir. Untuk pertama kali saya mengunjungi obyek itu, secara sengaja. Lalu, mas Lik pun merekomendasikan orang lain sebagai narasumber. Menjelang sore, kami bergerak ke arah utara kota..ke kompleks Baturan Indah kalau tidak salah. Mas Lik mengajak saya bertemu dengan saudaranya yang juga penggiat kota, khususnya yang menangani aksesibilitas. Saya senang sekali. Akhirnya kami sampai di rumah mbak Pikat.

Kami berkenalan. Mas Lik ternyata keponakannya mbak Pikat. Sungguh sangat luar biasa kesan saya ketika pertama kali bertemu ibu hebat satu ini. Mbak Pikat secara fisik mungkin kurang beruntung. Kakinya terkena polio sejak kecil, pergerakannya harus dibantu dengan tongkat atau kursi roda. Waktu itu, beliau sedang hamil anak pertama. Saya menemui satu lagi orang hebat disini. Kata-katanya sangat cerdas,orisinil, tapi juga membumi. Aktivitasnya di LSM dan prestasinya membuat saya merasa keciiiill dan nggak ada apa-apanya. Beliau memperjuangkan hak-hak teman-teman difabel dalam hal memperoleh aksesibilitas yang nyaman dan layak. Dan itu berhasil. Beberapa pekerjaan ditanganinya kala itu, tentu saja dengan dibantu oleh beberapa staf yang berkantor di sebelah rumahnya. Kami bertiga ngobrol panjang mengenai kota, aksesibilitas, Solo, dan rencana mengambil Kasunanan sebagai objek penelitian saya. Tapi, mbak Pikat malah menyarankan saya untuk mengambil objek Mangkunegaran saja. Dengan beberapa pertimbangan yang lebih bisa dikompromikan dengan waktu, kapasitas, narasumber, dan lingkup wilayah. Saya hanya tercengang-cengang mengiyakan saran orang ini. Dengan tanpa persiapan materi sebelumnya, saya nggak nyangka akan bertemu dengan orang sehebat ini.

Beberapa waktu kemudian, saya datang kembali ke Solo. Rindu berdiskusi dengan beliau. Lebih tepat berguru sebenarnya. Saya pergi menemui mbak Pikat sendiri, sudah berani tanpa ditemani mas Lilik lagi. Si kecil waktu itu sudah lahir. Waktu itu gerimis, dan kantor mbak Pikat sudah tidak di sebelah rumah lagi, tapi menjauh berjarak beberapa blok dari rumahnya. Saya diminta menunggu sebentar di teras rumahnya. Kebetulan waktu itu rumahnya kosong. Beberapa menit saya menunggu, tiba-tiba dari arah utara mbak Pikat datang, hujan-hujanan diatas kursi rodanya, sendirian tak berpayung. Tuhan, kekuatan apa yang membuat dia begitu mandiri dan hebat seperti ini? Saya berlari menjemputnya. Dia pun tersenyum pada saya, saya hanya menyalahkan, kenapa tidak pake payung atau mantel? Dia bilang, ah cuma jalan sebentar saja. Padahal sepertinya kantornya agak jauh dari rumah... Sesampainya di rumah, beliau menceritakan kesibukannya. Habis keliling cari dana ke negara tetangga. Nama negaranya saya lupa. "Sama siapa mbak?", tanya saya. Dijawab,"sendirian"..What?

Lalu kami pun akhirnya bercerita, tentang pilihanku dalam Tugas Akhir ini. Beliau semangat sekali dan bersedia untuk membantu. Kata-katanya berapi-api, menyemangatiku. Dalam diri sebenarnya terasa lemes..lemes banget! Haduh mbak, dalam keterbatasannya ternyata mbak Pikat mampu membuat saya semakin keciiiilll...Saya iri dengan keluasan cara pikirnya. Saya iri dengan jangkauan pengetahuannya. Saya iri dengan positive thinking-nya yang mungkin jarang dipunyai oleh orang-orang bukan penyandang polio seperti kita.

Rencana tinggal rencana. Saya akhirnya tidak bisa meneruskan survey di Mangkunegaran, dan harus segera banting stir ke Banyumas. Dan saya belum sempat menjumpai lagi mbak Pikat hingga saat ini. Semoga sehat-sehat saja ya mbak. Kalau saya ada jadwal ke Solo, insyaAlloh tak singgah sebentar ke rumah, melepaskan rindu akan semangat dan cara pandang mbak yang menginspirasi..

Sabtu, 29 Agustus 2009

Menjadi Satu-satunya

Kali ini, biarkan saya kenalkan orang-orang yang setiap hari mengisi hari-hari saya. Hehehe..ya, saya setiap hari bekerja dengan mereka. Semuanya laki-laki,bapak-bapak, ada dua puluh enam orang dalam satu gedung kerja kami.

Awalnya saya tak menyangka akan ditempatkan di bagian ini, bagian yang nggak ada perempuannya (untuk saat ini). Menurut cerita teman-teman, sebelumnya pernah ada yang menempati, tapi beberapa waktu ini kosong, karena perempuan-perempuan itu telah dirotasi ke bagian lain. Ah, memang bagian ini "cowok" banget! Hari pertama masuk, hmm...saya tebak dalam hati para lelaki itu mungkin muncul bermacam-macam pertanyaan. Suatu tantangan buat saya, dan tidak terlalu canggung juga masuk dalam kantor yang termasuk bangunan kolonial itu (yeah, saya sangat menyukainya, i love the old building!). Sebelumnya kebetulan saya telah pernah pula bekerja pada biro konsultan yang kalau berada dalam ruang studio, ..there's only me as a rose, he3...karena Bu Wik yang waktu itu jadi kadiv kan ruangnya terpisah, trus Mbak Ana juga ruangnya di depan
Semoga beliau-beliau teman-teman saya tak berkeberatan saya go publikkan disini.
begitu masuk ruangan dari arah pintu depan, sebenarnya meja kerja saya sudah langsung terlihat, pas di baris paling depan, di tengah-tengah. Di ruang kerja depan ini, saya bergabung dengan meja-meja bapak-bapak lainnya yang berjumlah lima belas orang. Tapi sayangnya saya jarang duduk anteng di meja ini, saya punya meja satu lagi,he3. Ruangnya berada di dalam, sebelah timur dekat pintu samping belakang. Saya biasa berkutat di sini, menghadapi layar, segunung dokumen, dan orang-orang mengesankan, yang telah membantu saya belajar lagi hal-hal yang baru. Ada Pak Supriyadi, orang sipil yang paling senior diantara kami berempat yang mengisi ruang itu. Beliau orangnya lugas, tegas, simpel, sederhana, pekerja keras juga. Pak Supri punya keluhan darah tinggi, jadi kalau sudah overload kerjaannya, hmm...pasti muncul keluhan-keluhan yang lucu. Trus ada Mas Totok, pak kepala lab yang groovijuga...many things i can learn from him i guess, even it's slowly =) Lalu paling timur ada mas Tanjung. Dia paling muda diantara bapak-bapak yang lain. He teach me lot of things till now. Bahkan konon 2 buku yang dipinjamkannya pada saya adalah salah dua kitab suci yang wajib dipelajari, ha3...Beruntung dari awal saya bergabung dengan mereka. Walaupun bidang ini sama sekali baru buanget buat saya, tapi sepertinya mereka tidak mempermasalahkan

Dari awal saya sudah membantu dalam proses lelang tahun ini. Tidak menyangka sebelumnya, prosesnya ternyata seperti ini panjangnya. Dulu memang saya memandangnya dari sudut stakeholder yang berbeda, sebagai peserta lelang. Tapi sekarang, saya membantu penyelenggaraannya. Ternyata banyak tahapan yang harus dilalui berjam-jam, bertindak titi teliti, berkoordinasi dengan banyak pihak, dan berpacu dengan waktu. Untuk hari-hari tanpa tidur siang, untuk hari-hari yang makan siang - makan malamnya dilewati bersama-sama di kantor, untuk matahari yang tak pernah menemani dalam perjalanan pulang dalam beberapa hari..saya sudah terbiasa menjalaninya.
Kami seringkali melakukan kegiatan di luar kantor berempat. Beberapa kali kesempatan kami pergi menjenguk teman. Kebetulan ada kemudahan transportasi pada kami berempat, jadi bisa kemana-mana bersamaan. Mungkin awalnya canggung juga mereka pikir, pergi dengan satu-satunya perempuan. Tapi saya kan adik paling kecil, mosok gak diajak =) ntar kalo nangis piye jal? he3, ah saya kan tidak sembarangan menumphkan air mata pada hal-hal yang nggak penting =) Suatu hari, mas Totok sakit, dan kami ber-25 nengokin dia bareng-bareng. Seperti biasa kami semobil bertiga (karena yang satu tergolek di rumah sakit dan akan kami jenguk). Saking lapernya, mas Tanjung minta makan siang dulu, dan kami pun tertinggal oleh rombongan yang lainnya. Ternyata kami bertiga masih ditunggu sama pak kabid dan pak kasi, padahal saya juga tahu mereka pun pasti merasakan lapar. Ah, ternyata kami sudah mengerjai orang-orang sekantor..duh, maafkan ya pak=)
Seminggu yang lalu saya jatuh sakit. Tanda-tandanya sudah terlihat oleh mas Totok siang hari sebelum saya pulang dan tidak masuk keesokan harinya. Waktu itu bertepatan dengan awal puasa 1430 H. Mas Tok bilang "wes, gak usah masuk sik.istirahat wae..." dan esok harinya pun saya akhirnya nggak kuat masuk, pusying dan batuknya gak berhenti-berhenti, puasa lagi...jadi tambah lemes deh. Saya pikir hari seninnya saya sudah bisa berjalan dengan tegak, ah ternyata belum bisa juga ngantor..dan merekapun melarang saya untuk segera masuk. Padahal saya sudah nggak betah tiduran terus di kamar. Mereka mengkhawatirkan saya, jangan-jangan kena DB, tipes, atau sakit parah lainnya....ah, padahal kan cuma batuk lanjut.
Kemarin, akhirnya saya diajak ke lapangan. Tidak untuk main bola lho, he3..tapi ikut melihat pekerjaan-pekerjaan kami pada beberapa ruas jalan yang sedang dilakukan penggelaran aspal. Saya pergi dengan mas Tanjung, sampai hampir maghrib baru pulang. My first experience. Saya ambil kesempatan ini, walaupun habis sakit, tapi kebetulan waktu penggelarannya sore, tidak tengah malam yang kadang masih membuat suatu alasan keberatan saya..menyenangkan bisa blusukan ke daerah-daerah terpencil kota ini.
Tidak begitu tahu apa yang dipesankan Pak Arif kepada teman-teman saya itu, tapi yang jelas sampai saat ini hubungan kerja dan personal kami jadi seperti kakak adik. Mereka menjaga saya sebagai adik perempuan satu-satunya di ruang yang sama. Mungkin keinginan saya untuk mempunyai kakak-kakak laki-laki dikabulkan Tuhan sekarang, walaupun mereka bukan saudara kandung saya, tapi yang pasti saya telah menemukan 'persaudaraan' baru dengan mereka. Dan menjadi satu-satunya perempuan diantara mereka, bukan berarti saya bisa bermanja-manja, tapi juga harus bisa menjaga kehormatan kami.

Sabtu, 08 Agustus 2009

the old city


kota adalah tempat pentas teater kehidupan dari waktu ke waktu, yang secara fisik dapat dinikmati dari simbol komunikasi bangunan-bangunannya

Saya cukup beruntung bisa tinggal di kota ini. Selain bisa menziarahi leluhur pendiri kota yang masih terjaga dengan baik - mungkin karena didukung oleh ketaatan masyarakat setempat yang sangat tinggi - saya juga masih bisa menikmati kekokohan artefak yang masih berdiri hingga sekarang. Kondisinya rata-rata terhitung masih baik, masih banyak yang difungsikan, kebanyakan berfungsi sebagai tempat tinggal. Sebagian dalam kondisi mangkrak mungkin wajar, karena dimana-mana di Indonesia, penanganan bangunan tua masih mengalami kendala yang cukup besar.

Bermula dari jaman sunan, waktu yang lampau sekali saat wali sembilan bergiat meng-Islam-kan tanah Jawa (pada awalnya, karena toh akhirnya beberapa murid wali sembilan pun berasal dari wilayah di luar Jawa), kota ini didirikan. Pemilihan nama kota yang secara harfiah berarti "kota suci", sepertinya bermaksud mengingatkan kepada saya untuk selalu berhati-hati dalam bertindak di kota ini...(tidak tau bagi yang lain tentang apa yang dikandung dari maksud nama kota ini).

Kota lama bercikal bakal dari keberadaan masjid sebagai pusat orientasi permukiman dan aktivitas keseharian. Permukiman kemudian berkembang di sekitar pusat pertumbuhan itu, dan lalu adanya kebutuhan pergerakan memunculkan jalur-jalur transportasi utama kota. Adanya waktu yang berjalan linier dalam proses pembentukan kota, turut mempengaruhi morfologinya di kemudian hari. Pengaruh tumbuhnya bisnis perdagangan, memunculkan konglomerat kota pada suatu masa yang berkembang pesat, divisualisasikan dalam bangunan-bangunan rumah tinggal yang kokoh dan sangat berfilosofis sebagai simbolisasi tingginya privasi tuan rumahnya. Rumah adat dengan hiasan ukir yang rumit dan tata ruang dalam yang mencerminkan sikap keseharian yang harus diterapkan oleh penghuninya. Ditambah lagi dengan kehadiran bangsa kolonial ke Indonesia, yang juga mempengaruhi langgam bangunan pada masa itu, semakin membuat orang berlomba menampilkan gengsi dan seleranya dalam bentuk arsitektur bangunan, yang saling berkomunikasi satu sama lain dengan lingkungannya. Pola jalan yang berbentuk grid dan dilalui oleh jalur pantura pula, menjadikan lalu lintas di kota ini cukup padat.
Jaman telah berganti. Modernisasi industri material yang cukup pesat, menjadikan wajah-wajah bangunan kota pun mulai bergeser tema. Dari yang semula tertutup, berdinding tebal, atap yang khas dengan hiasan seperti ekor burung dan penuh ukiran sebagai ciri arsitektur lokal setempat yang bernilai seni kriya yang tinggi, kemudian menjadi bertema bangunan-bangunan kolonial yang kokoh berbukaan besar dan berplafon tinggi, menjadi bangunan modern yang simpel dengan ciri material yang mudah dikenali karena kesamaan materialnya dengan yang terdapat di tempat lain di muka bumi. Jaman telah berganti, teman..

Sekarang, banyak bangunan tua baik yang didirikan pada masa kolonial maupun yang berlanggam etnik khas telah dibiarkan begitu saja. Dari segi perawatannya yang mungkin lebih susah dari bangunan masa kini yang cenderung praktis untuk dibersihkan, menjadikan pemiliknya sering mengeluh dalam hal perawatan. Sebagai langkah praktisnya, mungkin beberapa ada yang berganti wajah total sebagai bangunan baru, berlanggam kini pula, kontras dengan wajahnya terdahulu. Banyak diantaranya malah mungkin ditinggalkan (dikosongkan) begitu saja oleh penghuni ataupun pewarisnya.

Saya sebenarnya menyayangkan hal itu, dan iri kepada negara-negara di luar Indonesia yang masih bisa menjaga kekayaan kotanya dengan memelihara dan mempercantik artefak kota tuanya, baik itu berupa bangunan, kawasan terbuka, jalan/ruang publik, ataupun asesoris kota yang terkadang berdimensi kecil. Bukan bermaksud mengagung-agungkan masa lalu semata, tapi lebih kepada menjaga kesinambungan mata rantai pembentuk kota, yang di awal tulisan ini telah saya sampaikan. Biar cerita yang ingin disampaikan oleh pendahulu kita "nyambung" sama pergeseran wajah kota yang kelak dialami oleh penerus kita, biar mereka tidak menjadi generasi yang kehilangan mata rantai cerita kota-nya, dan biar mereka menghormati para pendahulunya, walaupun mereka tidak bertemu dengan para pendahulu itu secara personal (seperti juga halnya saya pun tidak bertemu dengan Daendels yang menciptakan Anyer-Panarukan dengan berbagai cerita yang berdarah-darah mengenaskan), karena kita dan anak-anak masa depan pun perlu mensarikan cerita dari warisan artefak yang ada.



Kamis, 23 Juli 2009

menemukan keluarga baru

April 29, saya harus berangkat ke kota itu.sendiri saja, sudah besar kok..he3. Memang bapak dan ibu tidak saya perkenankan untuk mengantar, karena malah nanti akan lebih merepotkan sang tuan rumah, terutama dalam hal menjemput kami seturun dari bis. Ditemani seseorang melalui ponsel,aku rasa perjalanan ini akan baik-baik saja.hmm...=)

Untungnya saya telah terbiasa dengan perjalanan jauh, dan menikmatinya. Harus melalui 7 kabupaten dan 1 kota di propinsi kami, selama 7-8 jam perjalanan. Hmm..who wanna try? Sampai di tempat tujuan sudah malam,sekitar jam 9,dan teman saya Aci, sudah menunggu harap-harap cemas di tempat pemberhentian terakhir bis dari kota saya. Senangnya....dan kami langsung meluncur menuju rumah Aci. Setelah dibekukan di dalam bis selama berjam-jam, sedikit demi sedikit badan saya terasa hangat justru karena terkena terpaan angin malam itu.

Selama satu minggu, saya tinggal di tempat Aci, untuk kemudian berpindah menuju tempat tinggal yang baru. Atas saran adik kelas saya, Erma, akhirnya saya menemukan sebuah rumah kos yang menyenangkan untuk ditinggali. Letaknya di sebelah barat kota. Agak jauh memang dari tempat saya bekerja, tetapi saya merasa nyaman tinggal di rumah kos itu. Pemiliknya adalah keluarga Sutrisno, mereka mempunyai dua orang putri, si sulung Nia dan si bungsu Nita. Saya memang sengaja mencari rumah kos yang juga ditinggali oleh sang pemilik rumah, tidak hanya untuk mengontrol saya, namun juga untuk membuat tenang ibu saya di rumah, meyakinkan bahwa anaknya dijaga oleh orang-orang yang tepat.


Awalnya canggung juga si tinggal di tempat yang baru itu. Nilai lebihnya adalah bahwa hanya ada dua kamar saja yang dikoskan, dan itu pun letaknya di lantai dua rumah Sutrisno. Jadi, memang tidak terlalu ramai untuk ditinggali, sehingga penghuni kos bisa beristirahat dengan nyaman. Viewnya bisa membuat penghuni kamar tersenyum jika melihat keluar jendela. Jika melihat ke bawah, ada susunan tanaman-tanaman cantik di halaman depan rumah. Jika melihat lurus ke depan, tampak siluet gunung yang menjadi batas utara kota yang saya tinggali. Balkon yang cukup lebar juga menjadi tempat favorit menatap benda-benda langit yang kerlap-kerlip saat malam hari kita bosan berada di dalam ruang.

Ibu Tris baik sekali ternyata. Jauh dari kesan galak. Beliau penyayang keluarga, pun kepada anak-anak kosnya. Kecintaannya terhadap tanamanlah yang menjadikan rumahnya berhias banyak tanaman cantik dan rindang. Di taman depan dan belakang rumah, semua masih terurus. Besar kecil, hijau maupun berwarna-warni. Selain itu, beliau juga suka masak. Hmmm..saya selalu dapat bagian menikmati masakan enaknya =) Kedua putrinya, Nia dan Nita, pun sama baiknya dengan saya. Yang besar akan segera menyelesaikan studinya di akademi kebidanan, dan si kecil baru saja memasuki dunia baru putih abu-abu di salah satu sekolah negeri di kota ini. Kami akrab, saya lebih dekat dengan si sulung, karena mungkin faktor usia kami yang tidak terlalu jauh. Kemana-mana aku selalu diantar Dik Nia. Sepertinya dia belum tega membiarkanku pergi-pergi sendiri, hi3..Terimakasih terdalam untuk setiap hal yang diperbuatnya pada saya, walau itu mungkin jarang terucap lewat kata-kata, seperti saudara saja layaknya...Kalau Pak Tris, saya malah belum pernah bertemu dengan beliau. Dari cerita ibu kos dan anak-anaknya, sepertinya beliau ayah kebanggan keluarga. Beliau bekerja di luar kota, tapi saya yakin keluarganya disini selalu memendam rindu untuk beliau dengan kebanggaan sebagai istri dan anak-anaknya tercinta.

Dan saya pun belum berniat berpindah rumah kos ke lokasi yang dekat dengan tempat saya bekerja. Mungkin dalam waktu lama. Seakan menemukan keluarga baru saya di sini. Tidak disangka sama sekali saya akan semudah ini menemukan mereka. Mungkin hadiah juga dari sang Maha Kuasa untuk saya.
Sehari-hari kami seperti keluarga sendiri. Tentu dengan norma kesopanan yang saya usahakan selalu terjaga. Kebiasaan saya yang tidur cepat sehabis Isya' juga sudah dipahami mereka, sehingga jika sampai larut saya masih berada di ruang bawah, pasti selalu diingatkan. Mereka pun baik terhadap teman-teman saya yang datang ke kos. Dan bahkan kemarin, ketika saya harus berangkat pagi-pagi sekali ke tempat kerja, teman kantor saya sempat speechless ketika saya katakan saya dibawakan bekal sarapan pagi oleh ibu kos saya dan mengeluarkan kotak bekal itu di depannya...Ah, dia sempat sampai tak bisa berkata apa-apa dalam beberapa detik..
Thanks God, i found my new family

Sabtu, 11 Juli 2009

hari ini (benar-benar) libur

....senangnya....


It's sunday! pagi-pagi sudah menghirup oksigen yang masih terasa dingin di rongga nafas. Masih berteman taburan gemintang dan bulan di langit taman belakang, memulai hari dengan rencana yang tersusun di otak secara fleksibel. Ada beberapa kemungkinan perubahan yang bisa terjadi secara mendadak, dan sudah saya antisipasi dari semalam.


Minggu yang menyenangkan. Meskipun beberapa malam niatan untuk menghabiskan halaman-halaman di buku "aneh" yang harus saya pelajari belum kesampaian, tetapi paling tidak telah mampu sedikit mengisi rongga kepala yang (hmmm....) kapasitasnya mungkin perlu ditambah lagi. hehehe...


Banyak sekali peristiwa minggu ini. Seorang teman baik, masuk ruang perawatan gara-gara asam uratnya rewel lagi. Teman, kami kehilangan suaramu, ketika ngobrol maupun tertawa. Semoga lekas sembuh ya.


Lalu, akhirnya keluargaku mengirimiku hadiah yang mereka tahan-tahan selama ini. Thank's Mom and Dad, i love you so! dan aku memulainya dengan Dik Nia =)


Di kantor, minggu ini pulang cepat terus..horeee. Sebenarnya pertimbangan kalian tentang gender itu nggak profesional banget si untuk diterapkan pada waktu-waktu sekarang ini. Justru pertimbangan itulah yang seharusnya membuat saya tersinggung, karena bukankah itu berarti sama dengan berpikir negatif tentang saya? Padahal sebaliknya, saya telah mempercayai kalian seperti orang-orang yang telah saya percayai. Dan saya telah berpikir positif tentang kalian semua, bro! Ahh..kalau bisa tidur, ngapain harus lembur? hehehe...jadi teringat teman-teman studio kala itu.


Tetapi, jadwal ke masjid agung tertunda lagi. Semoga tidak untuk lain waktu...saya pun sepertinya harus menggantinya dengan media yang lain untuk itu. Tetapi belum nemu...


Apalagi ya? Oia, saudara sepupu tersayang satu-satunya dari pihak bapak, akhirnya ikut merantau juga. Orang ini telah membuat saya menangis kala sholat Tarawih, Ramadhan beberapa tahun yang lalu. Mungkin perubahannya kala itu telah membuat eyang kami lebih bangga di alam sana. Kami beda usia hanya satu tahun, dia lebih muda dari saya. Dan keputusannya semalam, juga telah membuat saya bangga akan persaudaraan kami (tapi kali ini tak tertumpahkan lewat air mata). Biarlah orang tua kami memendam rindu untuk kami di rumah dengan senyum, dan doa-doa mereka semoga senantiasa menguatkan langkah kami ini.


Dan tadi pagi, aku bertemu kembali dengan "Mr. Tony Kukoc", yang telah lamaaaaa tak terdeteksi keberadaannya olehku di kolong bumi..........................................................................

serangan fajar

...lebih tepatnya dimulai malam hari sebenarnya, tapi berlanjut hingga fajar, dan akhirnya ketika peak hour, time to gone work! Tragis sebenarnya..hari itu saya harus seharian di kantor hingga maghrib, tidak ada air mata, tapi lemes banget rasanya.




Roman muka yang tak secerah warna baju oranye yang saya pakai hari itu, tertangkap oleh pandangan Pak Toto, waktu itu masih menjadi manajer operasional di kantor saya, dan langsung ngajak ngobrol yang temanya seakan terbaca oleh beliau di jendela mata saya..oh my God! kok orang ini tau aja ya, atau mungkin hanya kebetulan saja beliau bergurau seperti itu...




Kala itu saya tidak membuka ponsel hingga waktunya sholat dhuhur. Buanyak banget teman-teman yang nelpon maupun berkirim pesan.Tidak bisa berkata-kata pada awalnya, hanya beristighfar berkali-kali di dalam hati..Waktu dan kejadian, beberapa jam kala itu sepertinya berjalan sangat cepat, sekaligus..seperti roller coaster. Untung saja seat belt-nya terkunci dengan baik. Saya waktu itu masih diam, tidak banyak berkata-kata. Hingga akhirnya menjelang sore, Pak Agung dan Pak Indri membelikanku SKH ternama andalan Jawa Tengah edisi hari itu untuk mencarikan dan membacakan nama saya di dalamnya. Wajah dan muka saya mulai hangat dan memerah, didekap pertama kali oleh Astrid dan Mbak Eni kala itu. Mereka, teman-teman kerja saya tidak ikut merasakan rasa lain di sisi jantung ini, detaknya berbeda, bukan hanya detak senang saja, ada detak yang lain sebenarnya. Tetapi sepertinya iramanya sama, kencang dan merefleksikan senyum.




Saya pun harus menyusun skenario untuk merantau lagi, menuju kota yang gaungnya sudah saya dengar di hati saya ketika KKN kala itu, Februari - Maret 2004




Terima kasih Tuhan, hari itu aku bisa menutup hari dengan senyum juga akhirnya. Badan yang telah menghangat, dan kaki yang telah tegap berjalan...saya ingin segera pulang, dan mendekap ibu di rumah.








...tidak ada yang istimewa, kecuali...


...kecuali mensyukuri hari, kemarin,sekarang,esok...kan?

Menjadi diri saya sekarang, tak lepas dari apa yang telah saya, mereka, dan dia lakukan kepada saya. Menginduk kepada kata-kata trilogi : past - present - future itulah sekarang saya berdiri. Seperti kupu-kupu mungkin, kebetulan saya juga mengagumi binatang cantik ini, dia adalah produk mencengangkan dari proses yang (mungkin) tidak semua orang bersabar berjalan sejajar dengan waktunya.
Pun tidak menyesali yang terjadi kemarin, mungkin juga sesuatu yang terkadang berat dilakukan. Mengevaluasi, saya cenderung tidak senang kata ini, karena konotasinya saya pikir hanya bertujuan untuk mencari-cari bentuk kesalahan pada diri. Hmm...lebih menyenangkan mendengar kata meng-audit kayaknya,hehehe..
Banyak kejadian yang telah mengantar saya pada titik ini. Termasuk menulis seperti ini. Saya pikir, saya harus punya media untuk berkata-kata, karena - meminjam istilah seseorang yang pernah saya dengar - memang diam itu emas, tapi terkadang berucap adalah tindakan briliant! - and everybody seems to get the lattest one, right?