Sabtu, 05 September 2009

Saya Rindu dengan Orang Ini

Mbak Pikat, seseorang yang dikenalkan oleh mas Lilik kepada saya, waktu itu sekitar tahun 2003-2004 di Solo. Semua serba kebetulan ketika itu, dan prosesnya berantai-rantai. Bermula dari tukar pikir saya dengan mbak Utami mengenai Tugas Akhir-nya, saya jadi tertarik untuk juga menulis tentang Solo. Mbak Ut kemudian menyarankan pada saya untuk bertemu dengan mas Lilik, teman diskusinya dari universitas negeri di Bandung, yang kebetulan juga concern dengan pelestarian kota. Kala itu sepertinya sedang libur semester dan mas Lik juga sedang KP di Solo. Akhirnya saya pun berangkat menemui mas Lik, sendirian, berbekal nomor kontak dan petunjuk-petunjuk dari mbak Ut.

Saya tidak punya siapa-siapa di Solo. Salah satu teman yang harus saya hubungi adalah Hans. Maka saya pun menghubungi Hans sebagai tempat transit pertama.hehehe...dan akhirnya saya tiba di Solo, dijemput Hans, lalu ketemu deh sama mas Lilik.

Saya ingat betul, waktu itu hari Jumat, di halaman depan UNS. Kami ngobrol buanyak tentang kota dan sebagainya. "Orang ini hebat!", pikir saya. Kata-katanya mengalir lancar, mungkin seencer otaknya. Lalu kami pun mengerucut pada salah satu objek landmark-nya Solo, Keraton Kasunanan. Kamipun bergerak kesana, dengan bis kota dan cerita-cerita yang terus mengalir. Untuk pertama kali saya mengunjungi obyek itu, secara sengaja. Lalu, mas Lik pun merekomendasikan orang lain sebagai narasumber. Menjelang sore, kami bergerak ke arah utara kota..ke kompleks Baturan Indah kalau tidak salah. Mas Lik mengajak saya bertemu dengan saudaranya yang juga penggiat kota, khususnya yang menangani aksesibilitas. Saya senang sekali. Akhirnya kami sampai di rumah mbak Pikat.

Kami berkenalan. Mas Lik ternyata keponakannya mbak Pikat. Sungguh sangat luar biasa kesan saya ketika pertama kali bertemu ibu hebat satu ini. Mbak Pikat secara fisik mungkin kurang beruntung. Kakinya terkena polio sejak kecil, pergerakannya harus dibantu dengan tongkat atau kursi roda. Waktu itu, beliau sedang hamil anak pertama. Saya menemui satu lagi orang hebat disini. Kata-katanya sangat cerdas,orisinil, tapi juga membumi. Aktivitasnya di LSM dan prestasinya membuat saya merasa keciiiill dan nggak ada apa-apanya. Beliau memperjuangkan hak-hak teman-teman difabel dalam hal memperoleh aksesibilitas yang nyaman dan layak. Dan itu berhasil. Beberapa pekerjaan ditanganinya kala itu, tentu saja dengan dibantu oleh beberapa staf yang berkantor di sebelah rumahnya. Kami bertiga ngobrol panjang mengenai kota, aksesibilitas, Solo, dan rencana mengambil Kasunanan sebagai objek penelitian saya. Tapi, mbak Pikat malah menyarankan saya untuk mengambil objek Mangkunegaran saja. Dengan beberapa pertimbangan yang lebih bisa dikompromikan dengan waktu, kapasitas, narasumber, dan lingkup wilayah. Saya hanya tercengang-cengang mengiyakan saran orang ini. Dengan tanpa persiapan materi sebelumnya, saya nggak nyangka akan bertemu dengan orang sehebat ini.

Beberapa waktu kemudian, saya datang kembali ke Solo. Rindu berdiskusi dengan beliau. Lebih tepat berguru sebenarnya. Saya pergi menemui mbak Pikat sendiri, sudah berani tanpa ditemani mas Lilik lagi. Si kecil waktu itu sudah lahir. Waktu itu gerimis, dan kantor mbak Pikat sudah tidak di sebelah rumah lagi, tapi menjauh berjarak beberapa blok dari rumahnya. Saya diminta menunggu sebentar di teras rumahnya. Kebetulan waktu itu rumahnya kosong. Beberapa menit saya menunggu, tiba-tiba dari arah utara mbak Pikat datang, hujan-hujanan diatas kursi rodanya, sendirian tak berpayung. Tuhan, kekuatan apa yang membuat dia begitu mandiri dan hebat seperti ini? Saya berlari menjemputnya. Dia pun tersenyum pada saya, saya hanya menyalahkan, kenapa tidak pake payung atau mantel? Dia bilang, ah cuma jalan sebentar saja. Padahal sepertinya kantornya agak jauh dari rumah... Sesampainya di rumah, beliau menceritakan kesibukannya. Habis keliling cari dana ke negara tetangga. Nama negaranya saya lupa. "Sama siapa mbak?", tanya saya. Dijawab,"sendirian"..What?

Lalu kami pun akhirnya bercerita, tentang pilihanku dalam Tugas Akhir ini. Beliau semangat sekali dan bersedia untuk membantu. Kata-katanya berapi-api, menyemangatiku. Dalam diri sebenarnya terasa lemes..lemes banget! Haduh mbak, dalam keterbatasannya ternyata mbak Pikat mampu membuat saya semakin keciiiilll...Saya iri dengan keluasan cara pikirnya. Saya iri dengan jangkauan pengetahuannya. Saya iri dengan positive thinking-nya yang mungkin jarang dipunyai oleh orang-orang bukan penyandang polio seperti kita.

Rencana tinggal rencana. Saya akhirnya tidak bisa meneruskan survey di Mangkunegaran, dan harus segera banting stir ke Banyumas. Dan saya belum sempat menjumpai lagi mbak Pikat hingga saat ini. Semoga sehat-sehat saja ya mbak. Kalau saya ada jadwal ke Solo, insyaAlloh tak singgah sebentar ke rumah, melepaskan rindu akan semangat dan cara pandang mbak yang menginspirasi..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar