Jumat, 11 Maret 2011

Haiiiiii again

Seorang teman mengingatkan saya bahwa dia telah membuka blog saya..padahal hampir setahun ini saya tidak pernah lagi meng-update-nya. Terima kasih Raden Didit =)

Akan dimulai lagi dengan apa kira-kira tulisan saya kali ini? Banyak yang harus di-memorikan sebenarnya, tapi lama tak terorganisir dengan rapi. Kebiasaan saya sejak lama, sistem file-ing (*ingatkan saya kalau cara menulisnya keliru ya*) saya memang agak bermasalah, hehehe...

Let's start writing again..

Sabtu, 02 Januari 2010

My December 2008 - 2009

6 Desember 2008
Siang hari, jam 13.00 saya meninggalkan Purwokerto untuk menuju ke kota ini. Hmmm...bertaruh nasib untuk memenuhi keinginanku, keinginanmu, keinginannya...setelah hampir saya batalkan beberapa menit sebelumnya sebenarnya...Setelah duduk selama hampir 8 jam di atas bis, saya tiba di kota ini. Alhamdulillah selamat, dijemput oleh seorang teman dekat kala itu. Baru pertama kalinya saya menginjakkan kaki di kota ini. Ada keberanian besar yang saya simpan sangat rapi sebagai bekal amunisi saya kala itu. Sudah larut, sangat tidak enak hati saya kala itu. Bertemu dengan keluarga pertama yang saya kenal di kota ini. Mereka sangat baik, baik sekali terhadap saya. Pun sekarang (saya harap beliau masih berkenan) saya tetap menganggap Bapak dan Ibu, dan seorang putra bungsunya, sebagai orang-orang yang sangat berpengaruh dalam mata rantai hidup saya. Ijinkan saya selalu mengingat kebaikan serta mendoakan kesehatan dan keselamatan Bapak dan Ibu dalam doa-doa diam saya.

7 Desember 2008
Pagi ini saya menjalani ujian masuk bekerja di kota ini. Soal-soalnya susyah! Hawanya puanas pula. Jam 12 tepat semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tertulis itu harus sudah dikumpulkan. Gak sempat ngoreksi lagi ke soal-soal di bagian depan. Hanya bisa mengakhirinya dengan Alhamdulillah..

8 Desember 2008
Idul Adha saya tahun ini, saya lalui dengan sholat Ied di lapangan simpang banyak (baca : lebih dari 5 pokoknya, he3) bersama keluarga baik hati yang telah menampung saya dengan kehangatannya. Kebetulan saya mengambil cuti waktu itu, jadi tidak terlalu terburu-buru pulang, karena memang keberangkatan bis dari kota ini menuju Purwokerto hanya sekali sehari, tepat jam 5 pagi, sehingga agar tidak melewatkan sholat Ied, saya putuskan untuk pulang keesokan harinya. Siangnya sempat mampir sebentar ke kantor teman baik saya, yang sepertinya open 24 hours all year (he3..), dan siangnya nengokin dek Krishna yang baru beberapa bulan dilahirkan Aci, teman baik saya yang juga bermukim di kota ini.

9 Desember 2008
Pagi, jam 5 tepat, saya pulang, meninggalkan kota ini...pun dengan banyak perasaan yang tak terkatakan. Harapannya hanya satu, semoga saya lolos ujian itu.25 Desember 2008Pagi-pagi mencium pipi Ibu dan Ayah saya..Happy Anniversary my Mom and Dad! Memang setiap tanggal 25 Desember, saya usahakan untuk selalu berada di rumah, mendengarkan cerita-cerita yang mengalir dari bibir ibu saya akan kenangannya pada 25 Desember 1980. Daaaaaannn.....pasti selalu ada pertanyaan menggantung yang ditujukan pada saya di akhir cerita,he3..

26 Desember 2008
Mengingat Tsunami Aceh dan mengirimkan doa pada teman dekat yang tengah berbahagia, yang sedang berlibur bersama teman-temannya.

31 Desember 2008
Sangat sibuk sekali di kantor kala itu. Tutup tahun kedua saya bekerja di kantor ini. Tapi kali ini saya betul-betul lemas, pucat, mungkin ketukan jantung saya juga melambat, menjadikan air muka saya agak lebih "putih" mungkin waktu itu.ha3...Baru kembali menghangat suhu badan saya ketika hari sudah maghrib, dan semua pekerjaan di kantor di akhir tahun 2008 terselesaikan. Pelukan teman-teman di kantor membantu menghangatkan aliran darah saya kala itu.Hmmm...rumah biru itu, ternyata yang telah membuka jalan saya sampai pada titik ini.

-------------------------------------------------------------------------------------------------

6 Desember 2009
Pagi-pagi sekali, harus bersiap ke luar kota lagi. Kali ini gara-gara ada sms mendadak sore kemarin yang membimbing saya untuk datang ke kota yang belum pernah saya injakkan kaki diatas tanahnya sebelumnya. Pun sama seperti setahun yang lalu, saya pergi sendiri dengan berbekal keberanian dan ketulusan dalam hati. Mbak Wid menikah, semua keluarga besar berkumpul, dan saya, mau tidak mau harus berkenalan dengan semua anggota keluarga besar yang hadir. Saya berangkat agak siang, jadi langsung menuju ke tempat resepsi. Dengan dibimbing dik Fifin melalui ponsel, akhirnya saya sampai juga di tempat itu. Reaksi pertama adalah, saya kepanasan sekali! Seakan tak habis-habisnya keringat mengalir dari seluruh pori kulit saya. Sampai kertas tissue saya habis..Tiba di tempat itu, saya disambut dik Fin dengan senyum lebarnya. Kami seumuran ternyata..Lalu bersalaman dengan budhe Pin, budhe Tut, Ibu, mbak Wid yang cantik, dan segera mencari tempat yang aman untuk ganti baju. He3...Dan acara pun berjalan dengan lancar. Saya? jangan tanyakan..saya baik-baik saja, berbaur dengan anggota keluarga yang lainnya, selalu berada di dekat budhe Pin dan Reni, kadang ditemani Indra yang baik hati, he3.. (thanks, dik!). Karena orang yang kemarin mengirimi sms saya, tengah berada di sisi ibu..

22 Desember 2009
Selamat Hari Ibu! saya mengirimkannya lewat telepon pagi itu, untuk ibunya tercinta ketika dia terbiasa mengingatkan saya untuk bergegas bersiap pagi-pagi. Agak lama kami berbincang, setelah sebelumnya dia berbincang dengan sepupunya di pulau garam, per telpon juga.Jangankan kamu, saya pun juga, serius!

25 Desember 2009
Biasanya saya berada di rumah mendengarkan nasehat dan cerita dari ibu saya. Tapi kali ini, maafkan anakmu ibu, saya tidak bisa pulang, malah saya pergi ke Pandean. Bersua dengan ibu, dik Indra dan kakaknya, lalu menengok putri kecilnya mas Agung yang baru lahir 21 Desember kemarin. Sayang dik Fin nggak pulang. Hanya sebentar, jam 3 sore saya harus balik lagi, soalnya malamnya jam 19.00 bersama teman-teman kantor saya akan berangkat ke Malang..

26 Desember 2009
I love the journey...

31 Desember 2009
Ada yang tiba-tiba datang karena ditugasi mendampingi Pak Jamal, menelpon saya ketika sedang bersiap-siap akan pulang waktu itu.Dan saya bisa menutup akhir hari, akhir tahun ini dengan......senyum =)

Jumat, 02 Oktober 2009

Waduh, Miiii......



Rabu kemarin, saya ikut survey pengukuran pertama dalam kesempatan saya bekerja di kantor ini. Lokasinya nggak main-main, di wilayah hampir mendekati titik paling tinggi kota ini. Memang ini salah satu kesempatan saya menyusuri wilayah-wilayah baru yang belum pernah saya lihat sebelumnya. And I love it...




Dari kantor berangkat jam setengah sembilan. Kami bertujuh, saya, Mas Totok, Pak Parjo, Pak Harso, Pak Santoso, Pak Mul, dan Pak Rohman. Pake kendaraan dinas kijang merah itu. Kesempatan pertama, tentu saja saya dapat kursi di sebelah Pak Parjo =). Teman-teman yang lain menikmati sepoi-sepoi angin yang mengantar sepanjang perjalanan kami, di bagian belakang. Saya menemui kawasan-kawasan yang unik. Ada kota sukun yang seperti kota mandiri yang menyenangkan, rindang dan semua kebutuhan sepertinya tersedia. Selanjutnya terus naik ke utara, melalui jalan-jalan sempit yang hanya pas dilalui kendaraan roda empat berpapasan. Semakin naik, saya mulai mendapati vegetasi yang berbeda. Bukan pinus, tapi pohon kapuk randu, jagung, nangka...Akhirnya kami sampai di balai desa setempat, desa paling utara di kabupaten kami. Keheranan saya adalah hawanya yang tidak seperti hawa pegunungan. Dari sebelum berangkat, saya sudah membayangkan akan merasakan sedikit penurunan suhu dari kondisi di bawah (baca : kota), tapi ternyata sama saja, sama panasnya!


Vegetasi penutupnya buanyak sekali yang gundul, sehingga tanah pegunungan itu tampak merah dari kejauhan. Kondisi tanah juga tampaknya labil, tertangkap dari beberapa berita longsor yang menimpa wilayah ini. Sewaktu saya meraba dinding jalan yang merupakan tepi bukit yang dikepras sehingga terlihat bagian batu-batu penyusunnya, terasa rapuh, jatuh beberapa bongkah kebawah. Wah, bahaya nih kalau batu gunungnya tiba-tiba menggelinding..atau menggelundung...Jalan aspalnya banyak sekali yang rusak, dan inilah yang menjadi tugas kami siang ini, berkonsentrasi dengan jalan dan perkerasannya yang disana-sini sudah mengelupas dengan sempurna.


Hanya ada beberapa dusun/dukuh sepertinya di atas sana. Beberapa meter lagi sudah merupakan wilayah tetangga yang berada di balik pegunungan yang kami daki. Kelompok permukimannya mengikuti alur topografi, berkelompok di beberapa dataran, atau berlarik di sepanjang jalan utama. Pada wilayah yang bukan termasuk pusat dusun/dukuh, jarak antar rumah penduduknya cukup jauh, dan mereka biasa mendaki atau menurun berjalan kaki untuk menuju ladang, mengangkut hasil bumi yang secara kilometrik dan volumetrik cukup besar, hanya di punggung-punggung mereka yang sekuat baja!



Dan inilah sebenarnya keasyikan kami mengukur langkah dan arah di permukaan bumi siang itu. Jalannya menanjak, meliuk-liuk kekanan kekiri. Tidak ada pohon cemara ataupun strawbery di kanan kirinya, randhuuuuu dan jagung sepanjang jalan, jurang di kanan, ketinggian di kiri, wuiiiiii....Mas Totok bertugas mencatat potongan memanjang; Pak Mul dan Pak Harso yang menggambar lintang; Pak Rohman dan Pak Santoso memagang bermeter-meter pita ukur yang kami bawa, Pak Parjo mengukur potongan lintang dan saya ,hmmm...berjalan paling belakang mengawasi anak buah..hehehe, dan mendokumentasikan semua yang kami temukan di jalan. Menyenangkan sepanjang jalan...


Hanya 3,5km ternyata, saya pikir hingga 7 km kami akan berjalan. Itupun sudah menjadikan teman-teman saya sekantor kalang-kabut ketika kami kembali lagi ke kantor. "Waduh Miiiiiiiiiii.....kowe ki gek di-eman-eman malah iki di-item2-ke ngantek koyo ngono" kata Pak Pri dengan sepenuh hati. He3...dan mas Arif menimpali, "Lha wong udah di-eman-eman kon neng kene wae kok mas, malah dekne ra gelem ki..". Lagi, pas apel, sepatu saya masih berdebu sekali dan semua mata memandang dan berkomentar "Kuwi sepatu opo opo?" Whahahaha.....Pak Jas, di akhir apel pun komentar seakan nggak percaya "Mbak, awakmu melu neng S*****o? Ngantek gosong kayak ngono?" . Dan mungkin masih banyak lagi komentar yang ada di bibir teman-teman yang tak sempat saya rekam dalam ingatan saya..


Finally, i've made it bros!












































Kamis, 17 September 2009

My Lovely Mom and Dad

Mungkin memang benar pepatah yang mengatakan bahwa sesuatu akan tampak lebih indah jika dilihat dari kejauhan, seperti gunung yang terasa lebih agung jika dilihat dari dataran...

Saya menulis ini, bukan semata saya ingin memamerkan mereka, tapi inilah catatan saya akan kebaikan-kebaikan mereka yang sampai saat ini pun saya belum bisa membalasnya dengan baik. Kala jauh dari rumah seperti inilah, ternyata rasa sayang saya terhadap mereka mungkin lebih besar dibanding ketika saya berada dekat di dekapan mereka.

Saya anak satu-satunya di keluarga saya. Tidak benar jika anak tunggal selalu diidentikkan dengan manja, semua-muanya harus dituruti, cengeng, dan selalu enak hidupnya. Kebetulan keluarga kami juga sangat sederhana, jadi saya jauh dari perlakuan-perlakuan itu.


Ibu saya anak ke lima dari tujuh bersaudara. Berasal dari Kebumen, ketika mudanya kebetulan bekerja di kota asal saya hingga bertemu dengan Bapak dan melahirkan saya. Satu hal besar yang saya sangat kagum dengan Ibu adalah kesabarannya yang luar biasa. Saya masih terus belajar bersabar seperti Ibu. Seperti apapun sikap orang terhadapnya, beliau masih bisa mengendalikan emosinya. Bukan berarti bersedia untuk diinjak, tapi Ibu berkeyakinan penuh bahwa nantinya Tuhan pasti membalaskan apa yang dilakukan orang itu terhadap kita. Kalau orang itu melakukan kebaikan kepada kita, pasti dia akan dibalas Tuhan dengan kebaikan pula. Namun sebaliknya, jika orang lain berbuat keburukan kepada kita, niscaya Tuhan juga akan menurunkan kesulitan kepadanya. Karena semua sebab dan akibat adalah bersumber dari perbuatan kita sendiri...


Bapak adalah anak tertua di keluarganya. Dari keluarga besar juga, enam bersaudara. Tapi yang hidup tinggal tiga orang. Beliau tipikal pekerja keras, "dari sejak remaja " kata eyang saya. Ruang kerjanya banyak dihabiskan di lapangan, makanya beliau berkulit hitam legam. Disiplinnya bagus sekali, tapi terkadang sikapnya kaku. Pencatatannya rapi. Saya pun masih kesulitan meniru kebiasaannya itu. Pandangannya banyak dipengaruhi oleh cerita wayang, sehingga jika mengambilkan contoh kebijakan-kebijakan, beliau sering mensarikan dari cerita wayang. Beberapa juga beliau koleksi di rumah. Beliau bergurau suatu saat kalau sudah capek bekerja ingin jadi dalang saja...Ah, Bapak..


Beliau, Bapak dan Ibu saya ternyata merestui kepergian saya jauh dari rumah. Saya yakin, itu bukan berarti beliau tidak menyayangi saya dan saya tidak menyayangi mereka, tapi justru karena mereka sangat sayang terhadap saya. Mungkin hal itu tak terkatakan. Saya mulai keluar rumah dan jauh dengan mereka ketika saya meneruskan pendidikan ke Semarang. Sangat sulit sekali awalnya meyakinkan mereka untuk mengizinkan saya merantau, hingga akhirnya dibolehkan juga. Pun ketika saya telah bekerja sekarang, yang juga kebetulan juga di luar kota, restu mereka sangat tidak saya duga.


Banyak orang mungkin berpikiran, anak satu-satunya kok tega meninggalkan orang tua. Tapi, saya yakin bahwa inipun berkat doa mereka juga. Kalau saya tidak mengambil kesempatan bekerja di luar kota seperti ini, justru sama dengan mematahkan doa-doa mereka selama ini. Memang secara fisik kami jarang bertemu, tapi semoga doa-doa sayang kami selalu disatukan Tuhan untuk kami sekeluarga.


Kebiasaan Bapak yang masih dilakukan hingga saya seumur ini adalah ketika mengecek kamar saya ketika saya telah tertidur. Beliau selalu memastikan jendela kamar telah terkunci dengan baik. Terkadang jika selimut masih utuh pada lipatannya, beliau tutupkan ke badan saya yang telah tidur melingkar. Ibu selalu merindukan saya dengan kesabarannya, dan ketika saya pulang, kami saling menumpahkan cerita. Bagi saya, menemaninya belanja pagi-pagi untuk kami makan bersama akhir-akhir ini sudah menjadi sesuatu yang istimewa. Ibu pun senang sekali ketika saya pulang dan bersedia bangun pagi untuk menemaninya belanja.


Tenang saja Ibu, saya menemukan orang-orang baik di sini. Seperti kebaikanmu. Dan dari Bapak, kini saya sangat mengetahui betapa pekerja-pekerja lapangan yang sering saya jumpai berkaitan dengan pekerjaan saya merupakan orang-orang hebat yang membuat saya lebih menyayangi Bapak.



You Know It Actually....

Hari ini, hari terakhir kami masuk kerja sebelum libur lebaran tahun 2009. Teman-teman malah heran, ketika pagi-pagi saya muncul di kantor banyak yang berkata "Loh, kok belum mudik?" yaaah, pak..kan liburnya besok, masa saya pulangnya hari ini. Saya nggak berani mangkir lah pak, hehehe...
Tidak banyak yang kami lakukan secara serius hari itu. Yang lumayan banyak adalah saya dan mas Totok menyempatkan diri menyisipkan jadwal-jadwal yang kemarin tertinggal itu. Kantor mulai sepi sekitar jam 10-an. Bapak-bapak itu mungkin juga punyai janji dengan keluarganya masing-masing, untuk sekadar berbagi suka cita dengan keluarga, menemani anak istrinya berbelanja, atau bersiap-siap mudik ke kampung halamannya.
Saya masih belum beranjak pulang ketika Pak Hasyim sudah berkali-kali menyarankan kepada saya untuk pulang saja. Hehehe...beliau khawatir kalau-kalau saya sampai rumah kemalaman. Padahal jadwal kepulangan saya kan baru besok subuh.
Teman-teman seruangan pulang sama-sama kali ini. Sedikit banyak mungkin karena saya =) Hanya mas Totok yang pulang awal, karena dia akan ke Semarang. Bertiga, saya, mas Tanjung dan pak Supri hanya saling bercerita hal-hal diluar kerjaan. Awalnya saya mengeluh tentang ketidakprofesionalan teman dari bagian lain yang sepertinya mencampuradukkan masalah pribadi dan pekerjaan. Hingga pada suatu bagian cerita, mas Tanjung ternyata mengetahui sesuatu yang selama ini belum saya ceritakan padanya. Aaah..kakak satu ini tauuuu aja!
Saya malah lega mendengarnya. Terlebih kesediaan mereka menjadi benteng saya. Hampir menangis saya siang itu...

Sabtu, 05 September 2009

Saya Rindu dengan Orang Ini

Mbak Pikat, seseorang yang dikenalkan oleh mas Lilik kepada saya, waktu itu sekitar tahun 2003-2004 di Solo. Semua serba kebetulan ketika itu, dan prosesnya berantai-rantai. Bermula dari tukar pikir saya dengan mbak Utami mengenai Tugas Akhir-nya, saya jadi tertarik untuk juga menulis tentang Solo. Mbak Ut kemudian menyarankan pada saya untuk bertemu dengan mas Lilik, teman diskusinya dari universitas negeri di Bandung, yang kebetulan juga concern dengan pelestarian kota. Kala itu sepertinya sedang libur semester dan mas Lik juga sedang KP di Solo. Akhirnya saya pun berangkat menemui mas Lik, sendirian, berbekal nomor kontak dan petunjuk-petunjuk dari mbak Ut.

Saya tidak punya siapa-siapa di Solo. Salah satu teman yang harus saya hubungi adalah Hans. Maka saya pun menghubungi Hans sebagai tempat transit pertama.hehehe...dan akhirnya saya tiba di Solo, dijemput Hans, lalu ketemu deh sama mas Lilik.

Saya ingat betul, waktu itu hari Jumat, di halaman depan UNS. Kami ngobrol buanyak tentang kota dan sebagainya. "Orang ini hebat!", pikir saya. Kata-katanya mengalir lancar, mungkin seencer otaknya. Lalu kami pun mengerucut pada salah satu objek landmark-nya Solo, Keraton Kasunanan. Kamipun bergerak kesana, dengan bis kota dan cerita-cerita yang terus mengalir. Untuk pertama kali saya mengunjungi obyek itu, secara sengaja. Lalu, mas Lik pun merekomendasikan orang lain sebagai narasumber. Menjelang sore, kami bergerak ke arah utara kota..ke kompleks Baturan Indah kalau tidak salah. Mas Lik mengajak saya bertemu dengan saudaranya yang juga penggiat kota, khususnya yang menangani aksesibilitas. Saya senang sekali. Akhirnya kami sampai di rumah mbak Pikat.

Kami berkenalan. Mas Lik ternyata keponakannya mbak Pikat. Sungguh sangat luar biasa kesan saya ketika pertama kali bertemu ibu hebat satu ini. Mbak Pikat secara fisik mungkin kurang beruntung. Kakinya terkena polio sejak kecil, pergerakannya harus dibantu dengan tongkat atau kursi roda. Waktu itu, beliau sedang hamil anak pertama. Saya menemui satu lagi orang hebat disini. Kata-katanya sangat cerdas,orisinil, tapi juga membumi. Aktivitasnya di LSM dan prestasinya membuat saya merasa keciiiill dan nggak ada apa-apanya. Beliau memperjuangkan hak-hak teman-teman difabel dalam hal memperoleh aksesibilitas yang nyaman dan layak. Dan itu berhasil. Beberapa pekerjaan ditanganinya kala itu, tentu saja dengan dibantu oleh beberapa staf yang berkantor di sebelah rumahnya. Kami bertiga ngobrol panjang mengenai kota, aksesibilitas, Solo, dan rencana mengambil Kasunanan sebagai objek penelitian saya. Tapi, mbak Pikat malah menyarankan saya untuk mengambil objek Mangkunegaran saja. Dengan beberapa pertimbangan yang lebih bisa dikompromikan dengan waktu, kapasitas, narasumber, dan lingkup wilayah. Saya hanya tercengang-cengang mengiyakan saran orang ini. Dengan tanpa persiapan materi sebelumnya, saya nggak nyangka akan bertemu dengan orang sehebat ini.

Beberapa waktu kemudian, saya datang kembali ke Solo. Rindu berdiskusi dengan beliau. Lebih tepat berguru sebenarnya. Saya pergi menemui mbak Pikat sendiri, sudah berani tanpa ditemani mas Lilik lagi. Si kecil waktu itu sudah lahir. Waktu itu gerimis, dan kantor mbak Pikat sudah tidak di sebelah rumah lagi, tapi menjauh berjarak beberapa blok dari rumahnya. Saya diminta menunggu sebentar di teras rumahnya. Kebetulan waktu itu rumahnya kosong. Beberapa menit saya menunggu, tiba-tiba dari arah utara mbak Pikat datang, hujan-hujanan diatas kursi rodanya, sendirian tak berpayung. Tuhan, kekuatan apa yang membuat dia begitu mandiri dan hebat seperti ini? Saya berlari menjemputnya. Dia pun tersenyum pada saya, saya hanya menyalahkan, kenapa tidak pake payung atau mantel? Dia bilang, ah cuma jalan sebentar saja. Padahal sepertinya kantornya agak jauh dari rumah... Sesampainya di rumah, beliau menceritakan kesibukannya. Habis keliling cari dana ke negara tetangga. Nama negaranya saya lupa. "Sama siapa mbak?", tanya saya. Dijawab,"sendirian"..What?

Lalu kami pun akhirnya bercerita, tentang pilihanku dalam Tugas Akhir ini. Beliau semangat sekali dan bersedia untuk membantu. Kata-katanya berapi-api, menyemangatiku. Dalam diri sebenarnya terasa lemes..lemes banget! Haduh mbak, dalam keterbatasannya ternyata mbak Pikat mampu membuat saya semakin keciiiilll...Saya iri dengan keluasan cara pikirnya. Saya iri dengan jangkauan pengetahuannya. Saya iri dengan positive thinking-nya yang mungkin jarang dipunyai oleh orang-orang bukan penyandang polio seperti kita.

Rencana tinggal rencana. Saya akhirnya tidak bisa meneruskan survey di Mangkunegaran, dan harus segera banting stir ke Banyumas. Dan saya belum sempat menjumpai lagi mbak Pikat hingga saat ini. Semoga sehat-sehat saja ya mbak. Kalau saya ada jadwal ke Solo, insyaAlloh tak singgah sebentar ke rumah, melepaskan rindu akan semangat dan cara pandang mbak yang menginspirasi..

Sabtu, 29 Agustus 2009

Menjadi Satu-satunya

Kali ini, biarkan saya kenalkan orang-orang yang setiap hari mengisi hari-hari saya. Hehehe..ya, saya setiap hari bekerja dengan mereka. Semuanya laki-laki,bapak-bapak, ada dua puluh enam orang dalam satu gedung kerja kami.

Awalnya saya tak menyangka akan ditempatkan di bagian ini, bagian yang nggak ada perempuannya (untuk saat ini). Menurut cerita teman-teman, sebelumnya pernah ada yang menempati, tapi beberapa waktu ini kosong, karena perempuan-perempuan itu telah dirotasi ke bagian lain. Ah, memang bagian ini "cowok" banget! Hari pertama masuk, hmm...saya tebak dalam hati para lelaki itu mungkin muncul bermacam-macam pertanyaan. Suatu tantangan buat saya, dan tidak terlalu canggung juga masuk dalam kantor yang termasuk bangunan kolonial itu (yeah, saya sangat menyukainya, i love the old building!). Sebelumnya kebetulan saya telah pernah pula bekerja pada biro konsultan yang kalau berada dalam ruang studio, ..there's only me as a rose, he3...karena Bu Wik yang waktu itu jadi kadiv kan ruangnya terpisah, trus Mbak Ana juga ruangnya di depan
Semoga beliau-beliau teman-teman saya tak berkeberatan saya go publikkan disini.
begitu masuk ruangan dari arah pintu depan, sebenarnya meja kerja saya sudah langsung terlihat, pas di baris paling depan, di tengah-tengah. Di ruang kerja depan ini, saya bergabung dengan meja-meja bapak-bapak lainnya yang berjumlah lima belas orang. Tapi sayangnya saya jarang duduk anteng di meja ini, saya punya meja satu lagi,he3. Ruangnya berada di dalam, sebelah timur dekat pintu samping belakang. Saya biasa berkutat di sini, menghadapi layar, segunung dokumen, dan orang-orang mengesankan, yang telah membantu saya belajar lagi hal-hal yang baru. Ada Pak Supriyadi, orang sipil yang paling senior diantara kami berempat yang mengisi ruang itu. Beliau orangnya lugas, tegas, simpel, sederhana, pekerja keras juga. Pak Supri punya keluhan darah tinggi, jadi kalau sudah overload kerjaannya, hmm...pasti muncul keluhan-keluhan yang lucu. Trus ada Mas Totok, pak kepala lab yang groovijuga...many things i can learn from him i guess, even it's slowly =) Lalu paling timur ada mas Tanjung. Dia paling muda diantara bapak-bapak yang lain. He teach me lot of things till now. Bahkan konon 2 buku yang dipinjamkannya pada saya adalah salah dua kitab suci yang wajib dipelajari, ha3...Beruntung dari awal saya bergabung dengan mereka. Walaupun bidang ini sama sekali baru buanget buat saya, tapi sepertinya mereka tidak mempermasalahkan

Dari awal saya sudah membantu dalam proses lelang tahun ini. Tidak menyangka sebelumnya, prosesnya ternyata seperti ini panjangnya. Dulu memang saya memandangnya dari sudut stakeholder yang berbeda, sebagai peserta lelang. Tapi sekarang, saya membantu penyelenggaraannya. Ternyata banyak tahapan yang harus dilalui berjam-jam, bertindak titi teliti, berkoordinasi dengan banyak pihak, dan berpacu dengan waktu. Untuk hari-hari tanpa tidur siang, untuk hari-hari yang makan siang - makan malamnya dilewati bersama-sama di kantor, untuk matahari yang tak pernah menemani dalam perjalanan pulang dalam beberapa hari..saya sudah terbiasa menjalaninya.
Kami seringkali melakukan kegiatan di luar kantor berempat. Beberapa kali kesempatan kami pergi menjenguk teman. Kebetulan ada kemudahan transportasi pada kami berempat, jadi bisa kemana-mana bersamaan. Mungkin awalnya canggung juga mereka pikir, pergi dengan satu-satunya perempuan. Tapi saya kan adik paling kecil, mosok gak diajak =) ntar kalo nangis piye jal? he3, ah saya kan tidak sembarangan menumphkan air mata pada hal-hal yang nggak penting =) Suatu hari, mas Totok sakit, dan kami ber-25 nengokin dia bareng-bareng. Seperti biasa kami semobil bertiga (karena yang satu tergolek di rumah sakit dan akan kami jenguk). Saking lapernya, mas Tanjung minta makan siang dulu, dan kami pun tertinggal oleh rombongan yang lainnya. Ternyata kami bertiga masih ditunggu sama pak kabid dan pak kasi, padahal saya juga tahu mereka pun pasti merasakan lapar. Ah, ternyata kami sudah mengerjai orang-orang sekantor..duh, maafkan ya pak=)
Seminggu yang lalu saya jatuh sakit. Tanda-tandanya sudah terlihat oleh mas Totok siang hari sebelum saya pulang dan tidak masuk keesokan harinya. Waktu itu bertepatan dengan awal puasa 1430 H. Mas Tok bilang "wes, gak usah masuk sik.istirahat wae..." dan esok harinya pun saya akhirnya nggak kuat masuk, pusying dan batuknya gak berhenti-berhenti, puasa lagi...jadi tambah lemes deh. Saya pikir hari seninnya saya sudah bisa berjalan dengan tegak, ah ternyata belum bisa juga ngantor..dan merekapun melarang saya untuk segera masuk. Padahal saya sudah nggak betah tiduran terus di kamar. Mereka mengkhawatirkan saya, jangan-jangan kena DB, tipes, atau sakit parah lainnya....ah, padahal kan cuma batuk lanjut.
Kemarin, akhirnya saya diajak ke lapangan. Tidak untuk main bola lho, he3..tapi ikut melihat pekerjaan-pekerjaan kami pada beberapa ruas jalan yang sedang dilakukan penggelaran aspal. Saya pergi dengan mas Tanjung, sampai hampir maghrib baru pulang. My first experience. Saya ambil kesempatan ini, walaupun habis sakit, tapi kebetulan waktu penggelarannya sore, tidak tengah malam yang kadang masih membuat suatu alasan keberatan saya..menyenangkan bisa blusukan ke daerah-daerah terpencil kota ini.
Tidak begitu tahu apa yang dipesankan Pak Arif kepada teman-teman saya itu, tapi yang jelas sampai saat ini hubungan kerja dan personal kami jadi seperti kakak adik. Mereka menjaga saya sebagai adik perempuan satu-satunya di ruang yang sama. Mungkin keinginan saya untuk mempunyai kakak-kakak laki-laki dikabulkan Tuhan sekarang, walaupun mereka bukan saudara kandung saya, tapi yang pasti saya telah menemukan 'persaudaraan' baru dengan mereka. Dan menjadi satu-satunya perempuan diantara mereka, bukan berarti saya bisa bermanja-manja, tapi juga harus bisa menjaga kehormatan kami.